Sinau Bareng Virtual Mocopat Syafaat Juni 2020
Seiring dengan kemudahan akses untuk saling berkomunikasi, beberapa sedulur dari Askabulkopi menyepakati untuk maiyahan bersama Mocopat Syafaat edisi Juni di tempatnya Mas Ipul, teman-teman sering menyebutnya TM atau cabang tepi utara karena biasanya tempat ini memang sering dijadikan titik kumpul bagi beberapa Jamaah Maiyah area perbatasan Kota dan Kabupaten Magelang hampir setiap hari.
Sedari pukul 19.30, salah satu sedulur sudah meng-update lokasinya sudah berada di lokasi. Satu demi satu menyusul ditemani dengan serabi dan kopi hangat yang telah disajikan oleh Mas Ipul dan temannya. Hingga 9 orang akhirnya terkumpul untuk mengikuti siaran tunda yang proses tayangnya juga ikut tertunda karena ada kendala teknis di sekitaran Kadipiro siang harinya. Tapi itu bukanlah permasalahan serius bagi para lelaki (kebetulan jomblo semua) yang sudah terlatih menunggu jodohnya selama puluhan tahun.
Akhirnya, sekitar pukul 11 malam, video pun sudah ter-upload. Rasa rindu pun akan sejenak terobati, terutama dengan kepastian hadirnya Mbah Nun langsung pada rutinan Mocopat Syafaat (dengan undangan terbatas) malam kemarin di Kadipiro.
Rasa rindu itu pun mulai menciptakan angan-angan dari memori yang selama ini terekam selama Mocopatan di Kasihan. Contohnya, ketika Mas Ramli membacakan ayat-ayat suci di awal acara, biasanya situasi di halaman depan TKIT Alhamdulillah mulai terisi penuh, sedangkan di luar masih renggang.
Terdengar lirih di telinga sayu-sayu mesra para pedagang alas tempat duduk yang setia menyambut kedatangan para jamaah dengan ketulusan. Atau ada yang datang langsung memesan Soto, meski setelah kenyang biasanya hanya tertidur selama maiyahan. Lain halnya dengan saya, yang selalu memetakan tempat-tempat strategis sebagai sebuah penanda kecantikan dan keindahan Tuhan yang seringkali dihadirkan dalam maiyahan, maklum.
Setelah pembacaan taddarus, video dipotong langsung skip ke Mbah Nun. Kami yang menanti sedari tadi nampak memperhatikan dengan seksama, bukan menanti petuah ilmu, melainkan raut kelegaan yang menghiasi seolah menjadi penanda rindu yang sedikit telah terobati. Mungkin hubungan yang terbangun tidak sebatas guru-murid, mbah-cucu, atau bapak-anak yang terkadang berbatas takdzim, mungkin saja raut itu menggambarkan kerinduan yang berangkat karena adanya ikatan cinta yang menembus batas-batas ikatan pada umumnya.
"Kita ini sedang berada dalam ketidaktahuan masal." Tutur Mbah Nun, dengan membukakan pandangan bahwa semua ilmu yang diterapkan baru sekedar spekulatif. Tentang perkara ketika memakai masker, ada tidaknya corona atau jan-jane corona itu sebenarnya justru tidak ada. Mbah Nun seolah tak lupa mengingatkan bahwa suatu nilai kebenaran hidup yang kita pegang, belum tentu kebenaran tersebut memberikan manfaat yang sama bagi orang lain. Oleh karena itu, beliau menekankan kalau kita juga mesti ikut menjaga keamanan dan taat kepada protokol kesehatan.
Andaikata kita belum diberikan sakit, setidaknya hal tersebut tidak untuk dipamer-pamerkan kepada siapa-siapa karena tidak bisa memberikan nilai objektif kepada banyak orang. Selain itu, hanya orang yang memiliki Allah-lah yang akan bergantung pada makrifat dan hidayah Allah Swt. Sekalipun corona mampu membunuh kapitalisme global, atau setidaknya mampu mengulur waktu sedemikian rupa. Namun, pada dasarnya sifat rakus manusia tidak akan berubah. Bukannya mati atau hancur, bukankah kapitalisme tersebut sekarang justru sedang ditunggangi dan dimanfaatkan?
Manusia itu hidup dengan 2 rumus menurut Mbah Nun, pertama manusia akan melakukan apa saja asalkan membuat mereka senang; yang kedua sebaliknya, orang jika takut mati, apa saja pasti juga akan dibeli asalkan mampu menunda waktu kematian. Lalu, diantara 2 rumus tersebut mana yang sedang mayoritas masyarakat lakukan? Lantas, siapa yang paling diuntungkan oleh keadaan ini?
"Jadi, bandhane awak dewe iki janjane dudu ilmu, tapi iman. Itupun hanya berlaku buat kita dan keluarga." Pesan Mbah Nun. Beliau menambahkan bahwa iman tersebut belum tentu bisa memiliki nilai yang sama dalam satu lingkungan baik sekampung, bahkan se-RT. Karena kalau dipaksakan justru bisa membuat situasi yang membahayakan orang lain sebab kondisi kita (para pejalan nilai maiyah) berbeda. Karena diluar sana menurut Mbah Nun masih banyak yang berwatak kapitalisme. Tidak ada Corona pun tetap memiliki mental "proyek".
Selanjutnya, Ya Dzal Wabal dilantunkan bersama-sama diiringi Pakdhe-Pakdhe Kiai Kanjeng. Semua yang hadir tampak serius memohon wirid pembalasan tersebut. Dalam sudut pandang tertentu, Allah juga Maha Pembenci. Membenci orang-orang tertentu dengan perilaku dalam regulasi tertentu, bahwa Allah akan Membalas, dengan hukuman yang sangat dahsyat dalam tingkatan keadlilan yang lebih spesifik. Oleh karena itu, keadaan ini menurut Mbah Nun juga akan menguji kesabaran dan ketabahan yang diantara kedua sifat tersebut merupakan jodoh bagi orang bertakwa.
Kebenaran maiyah sedang diuji oleh keadaan global. Ini pun baru pada tahap babak penyisihan dan butuh beberapa waktu agar sejumlah hal dapat kita klaim. "Ojo rerasanan satu sama lain. Apakah dari kalian suka memakan bangkai teman kalian sendiri?" kata Mbah Nun mencoba menggambarkan dunia medsos yang dipenuhi dengan kesenangan menghancurkan orang lain. Sedangkan kita tidak bisa mengandalkan segala media untuk mendapatkan kebenaran, karena semua difilter oleh subjektivitas politik.
Mbah Nun kemudian memberikan pandangan bahwasanya apa yang dilakukan para penguasa negeri ini sudah pada taraf menghancurkan dengan merampok masa depan anak cucu kita sedemikian rupa. Ibarat anak kucing yang sedang dilempar di tengah hutan yang penuh dengan serigala, dengan segala aturannya yang dibuat sedemikian rupa bukan demi kepentingan bersama.
Menabung Dendam Kepada Diri Sendiri -- Restart atau Force Shutdown
Pak Toto yang juga membersamai acara pada malam hari itu sedikit menceritakan tentang bagaimana teman-teman Maiyah tetap berproses dan saling menjaga serta mengamankan di lingkungannya masing-masing. Dengan modal yang minim atau bahkan hanya bermodalkan Bismillah, Jamaah Maiyah sanggup melakukan banyak hal. Corona menurut Pak Toto semacam pupuk alam yang mencoba membangkitkan semangat pergerakan tersebut. Semangat teman-teman mendapat apresiasi yang luar biasa dari Pak Toto.
 Mbah Nun mencoba memberikan respon atas apa yang telah dipaparkan oleh Pak toto. Menurut Mbah Nun, saat ini kita sedang membutuhkan proses restart. Memulai kembali. Baik dari membangun pemahaman, memfokuskan cara pandang, tidak kehilangan peran Tuhan dalam setiap proses berfikir. Karena segala pelaku utama dalam keadaan seperti ini tetaplah Allah. Mbah Nun kemudian mengingatkan, "daripada di-restart oleh dunia, ayo kita lakukan sendiri."
Setidaknya ada 4 level walayah (pelaku) dalam restarting yang digambarkan Mbah Nun malam itu, pertama orang yang panguripane ngemis; kedua, orang yang memegang prinsip min haitsu la yahtasib diimbangi dengan ibadah yang rajin; ketiga, orang dengan tipe Siti Maryam, yang disediakan langsung oleh Malaikat segala kebutuhannya; Dan keempat, orang bertipe Nabi Khidir as, orang yang tinggal "kun fayakun" saja.
Mungkin di zaman yang serba maju ini, nilai-nilai seperti itu akan lebih banyak disepelekan daripada menjadi sesuatu yang diperhatikan. Sedang dalam perjalanan hidup, kita membutuhkan kelengkapan kualititaf sebagai penyeimbang, contohnya orang tidak hanya butuh sehat, tapi juga 'afiat. Tidak hanya tobat, namun ada nasuha. Tidak hanya baldatun thoyyibatun, namun dilengkapi dengan wa Rabbun Ghaffur. Lagu Duh Gusti yang mengalami 1 perubahan kata dari "kaleresan" menjadi "kasarasan" menjadi penutup tayangan Mocopat Syafaat part 1 pada malam hari itu.
Saya dan teman-teman beruntung, karena malam hari itu kita mendapatkan manfaat dari kemudahan akses komunikasi, kita dapat berkumpul dan dipertemukan dengan mempertegas cinta di jalan yang sama, dan dapat mengobati kerinduan kita atas kehadiran Mbah Nun. Atau sekurang-kurangnya, kami harus sanggup menjaga konsistensi kata-kata yang tertulis untuk dijadikan kesepakatan setidaknya dengan siapa dirinya sambung komunikasi. Karena yang terjadi, semakin mudah akses komunikasi, justru makin banyak manusia semakin menyepelekan waktu dan sebuah pertemuan. Atau mungkin lupa, karena tersibukkan oleh kesenangan yang lain di media alat komunikasinya.
Bagaimana akan me-restart spiritualnya, jika kebiasaan-kebiasaan kecil seperti itu sering disepelekan? Bagaimana akan mengubah kekuasaan yang katanya "dholim" dan penuh ketidakadilan? Bagaimana caranya kamu bisa mengungkapkan cinta, jika engkau enggan berkenalan dengan luka? Bagaimana bisa merasa mesra dengan Tuhan, sedangkan hanya kecerdikan merangkai kata yang engkau tampilkan sebagai status demi menarik yang bukan diri-Nya?
Kalau memang begitu, wajar jika Simbah pernah bertanya, "tenan po wes siap meh arep ngrubah bangsa iki? Ndara ngko anane malah mung nyusahke... " Jadi sebenarnya kalau kita akan me-restart sesuatu, yang pertama kali diidentifikasi masalahnya, sesuatu yang ada di luar diri kita atau yang justru tersembunyi di dalam diri kita? Kamu akan restart atau diam-diam menabung dendam kepada diri sendiri dengan meng-klik tombol force shutdown.
Magelang, 18 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H