Kecondongan manusia untuk memiliki peran yang baik selama hidup adalah keinginan bagi setiap insan. Semudah-mudahnya dapat memberi manfaat bagi lingkungan sekitarnya, atau setidaknya sebagai persembahan sekaligus pembuktian pengorbanhan terhadap sesuatu yang dicintainya.Â
Tak peduli pekerjaan seperti apa, karena mulanya adalah kegigihan keinginan. Halal haram pun akhirnya sekedar formalitas karena banyak yang mengetahui akan tetapi tetap melakukan dengan dalih-dalih pembelaan yang terdengan seperti tuntutan beban.
Kata-kata ini pun tak akan mampu menghidupi yang mewujud sebagai imbas dari pena yang tergerak oleh tangan. Padahal, pena tersebut adalah benda mati yang mempu mencipta kata karena tarian jari jemari tangan.
Tangan pun demikian memiliki kekuatan untuk bergerak karena mendapat perintah dari akal atau pikiran yang ingin menampakkan pandangannya melalui kata-kata. Dan akal pun tiada apa-apanya dan tak lebih dari sekedar benda mati, jika ia tak menerima kehendak Tuhan.
Segala indera yang dimiliki manusia menjadi alat bantu akal atau pikiran untuk dapat menuangkan segala kehendak-Nya. Peran baik dan buruk pun tak lebih dari sebatas sangkaan dari mereka yang memiliki hobi menilai. Sedang tiap peran pasti memiliki manfaatnya bagi kehidupan.
Jadi manusia yang bermanfaat itu bagus, tapi ternyata akan lebih baik jika sanggup meminimalisir kemudharatan. Setelah ditimbang-timbang, ternyata lebih akan lebih baik lagi jika mampu mengikis tingkat kemudharatan seminimal mungkin meski diam menjadi opsi terakhir.
Dan jangan heran, jika Sayyidina Ali ra. pernah menyampaikan bahwasanya banyaknya kemaksiatan yang terjadi karena banyak orang alim yang lebih memilih diam.
Hal ini terjadi bukan tanpa alasan, karena orang alim mengetahui jika hanya Tuhanlah yang mampu mengubah keadaan hati seseorang melalui hidayahnya. Dan ini hampir terjadi di setiap zaman.
Toh, pada akhirnya jika peradaban masyarakat di suatu wilayah telah mencapai puncak kerusakan di mata Ilahiah, sangat wajar jika Tuhan mengirimkan peringatan-peringatan agar kita, mereka, dan semua manusia sadar.
Namun, kebanyakan dari manusia lebih memilih ingkar. Mungkin ingkar lebih baik karena ia memiliki kesadaran, karena ternyata kita atau manusia telah menjadi manusia yang tidak peka. Karena apa?
Manusia telah banyak merasa mampu dan mengetahui. Hingga seorang alim ulama pernah berujar bahwa syirik yang terjadi disaat ini bukan lagi sikap menyekutukan Tuhan, melainkan merasa segala laku dirinya selalu dibela oleh Tuhan.
Kita selalu banyak diingatkan bahwasanya orang maksiat yang bertobat lebih baik daripada seorang ahli ibadah yang sombong. Hal itu lebih benayak disebabkan oleh kesombongan dan hilangnya sikap tawadhu' karena merasa lebih mengetahui akan ilmu yang telah dienyamnya. Misalnya Ibnu Muljam, siapa yang tidak kenal dengan beliau yang mahsyur?
Keadaan tersebut merupakan sebuah gambaran bahwa muatan ilmu tak menjamin seseorang akan mendapat kebaikan hidayah. Bahkan, jika mesti dirunut perjalanan ilmu tersebut dapat terbagi menjadi 3 tingkatan menurut Al-Ghazali.
Ketika menapaki jengkal pertama, ia akan merasa tinggi hati, lalu ketika menapaki jenjang kedua ia akan merasa rendah hati atas ilmu yang telah diperoleh. Dan yang terkahir atau ketiga, ketika seseorang mendapati keberkahan ilmu, ia akan merasa semakin tidak mengetahui apa-apa karena ilmu yang diperoleh ternyata menjadi sebuah pintu masuk akan ilmu yang lebih luas.
Akan tetapi, di zaman sekarang jenjang ilmu adalah sebuah prestige atau kehormatan yang harus disematkan berdampingan untuk memperpanjang nama lengkap.
Yang mesti ditapaki agar setidaknya jaminan masa depan aman karena kesempatan pekerjaan dan besaran gaji akan sejalan dengan jenjang ilmu formalitas yang telah ditapaki. Beda dengan zaman dahulu yang memiliki indikasi keilmuan adalah seorang pendekar yang mampu mengalahkan lawan-lawannya.
Dan tidak ada pembenaran atau penegasan salah diantara jalan-jalan yang telah dipilih. Semua merdeka untuk memilih jalan yang dianggapnya nyaman atau menantang demi sebuah keindahan hidup. Toh, tidak ada juga yang mampu menunjukkan jalan kepada seseorang kecuali telah Dia kehendaki.
Serta, kemaksiatan bahkan kedholiman yang secara subjektifitas mungkin telah dalam fase akut alias merajalela menjadi sebuah pemahfuman ketika banyak orang yang mengetahui pada akhirnya lebih memilih diam seperti yang disampaikan Sayyidina Ali ra.
Jadi, silahkan saja mereka mabuk oleh karena perbuatan mereka sendiri, misalnya dengan kemunculan istilah-istilah baru seperti "New Normal" yang selalu saja memunculkan pro dan kontra.
Silahkan saja mereka menciptakan kata-kata yang telah ditunggangi oleh berbagai macam tendensi, misalnya merasa paling mengetahui, paling memahami, paling mampu hingga membuatnya seolah menutup mata atas peran Kesejatian yang selalu mengawasi dan mengetahui apa yang disembunyikan di bilik hati tersembunyi tiap-tiap insan.
Toh, pada akhirnya tidak ada keselarasan antara perbuatan dan kata-kata dan sudah menjadi gejolak tiap-tiap peradaban "New Normal" yang berulang di tiap zamannya.
Semua hanya sebatas kepentingan dan harga diri atas dasar "merasa paling". Yang akhirnya menggembirakan karena telah menjadi sebuah tontonan yang menghibur bagi mereka yang telah terbiasa berteman dengan sunyi!
29 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H