Kita selalu banyak diingatkan bahwasanya orang maksiat yang bertobat lebih baik daripada seorang ahli ibadah yang sombong. Hal itu lebih benayak disebabkan oleh kesombongan dan hilangnya sikap tawadhu' karena merasa lebih mengetahui akan ilmu yang telah dienyamnya. Misalnya Ibnu Muljam, siapa yang tidak kenal dengan beliau yang mahsyur?
Keadaan tersebut merupakan sebuah gambaran bahwa muatan ilmu tak menjamin seseorang akan mendapat kebaikan hidayah. Bahkan, jika mesti dirunut perjalanan ilmu tersebut dapat terbagi menjadi 3 tingkatan menurut Al-Ghazali.
Ketika menapaki jengkal pertama, ia akan merasa tinggi hati, lalu ketika menapaki jenjang kedua ia akan merasa rendah hati atas ilmu yang telah diperoleh. Dan yang terkahir atau ketiga, ketika seseorang mendapati keberkahan ilmu, ia akan merasa semakin tidak mengetahui apa-apa karena ilmu yang diperoleh ternyata menjadi sebuah pintu masuk akan ilmu yang lebih luas.
Akan tetapi, di zaman sekarang jenjang ilmu adalah sebuah prestige atau kehormatan yang harus disematkan berdampingan untuk memperpanjang nama lengkap.
Yang mesti ditapaki agar setidaknya jaminan masa depan aman karena kesempatan pekerjaan dan besaran gaji akan sejalan dengan jenjang ilmu formalitas yang telah ditapaki. Beda dengan zaman dahulu yang memiliki indikasi keilmuan adalah seorang pendekar yang mampu mengalahkan lawan-lawannya.
Dan tidak ada pembenaran atau penegasan salah diantara jalan-jalan yang telah dipilih. Semua merdeka untuk memilih jalan yang dianggapnya nyaman atau menantang demi sebuah keindahan hidup. Toh, tidak ada juga yang mampu menunjukkan jalan kepada seseorang kecuali telah Dia kehendaki.
Serta, kemaksiatan bahkan kedholiman yang secara subjektifitas mungkin telah dalam fase akut alias merajalela menjadi sebuah pemahfuman ketika banyak orang yang mengetahui pada akhirnya lebih memilih diam seperti yang disampaikan Sayyidina Ali ra.
Jadi, silahkan saja mereka mabuk oleh karena perbuatan mereka sendiri, misalnya dengan kemunculan istilah-istilah baru seperti "New Normal" yang selalu saja memunculkan pro dan kontra.
Silahkan saja mereka menciptakan kata-kata yang telah ditunggangi oleh berbagai macam tendensi, misalnya merasa paling mengetahui, paling memahami, paling mampu hingga membuatnya seolah menutup mata atas peran Kesejatian yang selalu mengawasi dan mengetahui apa yang disembunyikan di bilik hati tersembunyi tiap-tiap insan.
Toh, pada akhirnya tidak ada keselarasan antara perbuatan dan kata-kata dan sudah menjadi gejolak tiap-tiap peradaban "New Normal" yang berulang di tiap zamannya.
Semua hanya sebatas kepentingan dan harga diri atas dasar "merasa paling". Yang akhirnya menggembirakan karena telah menjadi sebuah tontonan yang menghibur bagi mereka yang telah terbiasa berteman dengan sunyi!