Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebiasaan yang Disangka "New Normal"

28 Mei 2020   22:57 Diperbarui: 28 Mei 2020   23:26 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam selalu menjadi waktu yang mengasyikkan bagi para pejalan sunyi untuk mengais ilmu sebanyak-banyaknya. Mendengar nyanyian-nyanyian lirih semesta di bawah naungan bulan dan bintang mencari makna akan ayat-ayat yang terkandung sepanjang jalan.

Di saat banyak mata terlelap karena gelap yang seringkali disangka menyesatkan. Namun, karena minimnya cahaya yang memantul ke penglihatan, maka seringkali ruang mencari bahagia dan hingar bingar menjadi semakin terbatas. Demikian pula cuaca Corona semakin menjadi sangkaan-sangkaan hingga menciptakan trend baru, "New Normal".

Langkah-langkah kecil mendera arah kemana angin pengetahuan tertuju. Menghitung jejak tertinggal dalam pencarian diri yang menjadi kenangan bahagia atau luka. Terus memproses kebenaran yang acapkali menjadi bahan perdebatan lewat kata-kata yang terkadang lupa bertanggung jawab terhadap kata-katanya sendiri.

Begitupun dengan "New Normal", yang disangka merupakan kelahiran peradaban yang baru atas ke-"Abnormal"-an keadaan yang sedikit memaksa standar keamanan dan kenyamanan mayoritas manusia mesti banyak dihitung-hitung kembali.

Sekilas melupakan ingatan kepastian bahwasanya satu kepastian yang hidup adalah mati. Bagi yang terlanjur merasa hidup, lantas enggan untuk menerima sedikit masalah yang lebih banyak mengandung hikmah dibandingkan dengan malapetaka.

Apakah hikmah pasti berada dalam kisaran sesuatu yang nikmat? Atau malapetaka pasti datang dalam kesengsaraan? Apakah manusia betul-betul enggan menerima maaf atas khilafnya sendiri melalui ujian-ujian yang didatangkan hingga mesti merasakan sakit?

Memang, apakah ada selama ini yang normal? Apa standar nilai atau tolak ukurnya hingga bisa disebut sesuatu itu normal? Bertambahnya jeritan kemiskinan? Meningkatnya pelaku kriminalitas? Semakin menakutkannya sebuah penyakit? Kelaparan akan pangan atau selera yang tercukupi? Kehilangan pekerjaan yang tak diimbangi dengan hilangnya beban angsuran?

Bahkan, situs abal-abal pribadi saya pun memiliki judul "Abnormal" karena bertentangan dengan apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Hingga merasa tidak pantas memaksakan nilai-nilai tatanan yang selama ini telah dianggap normal bagi sebagian besar manusia.

Kita seringkali tidak sadar dalam mencari ilmu hanya mencari pembenaran asumsi ataupun kebaikan yang sejalan dengan pemikiran diri. Karena pada dasarnya bukan kebenaran atau kebaikan yang dicari, melainkan hanya sebatas kenyamanan atau keamanan diri.

Simulasi sederhananya, misal seseorang sudah terbiasa mendapat nilai 7, seketika karena suatu keadaan mendapat nilai 5 atau jangan jauh-jauh, menjadi 6,5 pun pasti sudah kelabakan mencari pembenaran untuk pemulihan image standar nilai dirinya untuk setidaknya tetap berada di angka 7.

Hal tersebut berlaku dalam berbagai keadaan di antara banyaknya nilai-nilai kehidupan. Opsi sederhanya jika standar angka tersebut tidak didapatnya kembali dalam suatu lingkungan hanya 2, menerima dengan jujur dan legowo, atau mencari lingkungan atau wilayah lain karena harga dirinya terlanjur turun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun