Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebiasaan yang Disangka "New Normal"

28 Mei 2020   22:57 Diperbarui: 28 Mei 2020   23:26 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keadaan "New Normal" ini tak lain merupakan angka-angka yang enggan merendah harkat dan martabatnya untuk setidaknya jujur dan meminta maaf kepada yang memberi amanah, agar sesuatunya dapat dikomunikasikan hingga solusi terbaik dapat dicari bersama.

Tidak ada keterbukaan dan secara sepihak menerapkan aturan juga kurang pas, karena di satu sisi si pemegang amanah merasa diri dan kelompoknya merupakan yang terbaik dan terbenar. Si pemberi amanah hanya dianggap seperti gembala-gembala yang dipaksa tunduk terhadap segala aturan yang merasa menjadi penggembala.

Tidak ada yang baru dalam kemaksiatan jajaran para pemegang amanah, akan tetapi si pemberi amanah pun jangan lantas merasa diri pendapatnya baik dan benar disaat komunikasi tak pernah terjalin secara face to face. Semua hanya menjadi sangkaan-sangkaan yang telah menjadi golongan-golongan tertentu untuk memperebutkan kebenaran.

Sekali lagi, kebenaran bukan berarti kemenangan atau kesejahteraan sepihak. Akan tetapi, ada ikatan untuk sama-sama merasa "saling" mengamankan dan "saling" menyejahterakan.

"New Normal" yang dipaksakan tentu menjadi pemandangan yang mengasyikkan ketika malam tiba. Desas-desus menjadi bahan pergunjingan di kotak-kotak kerumunan masyarakat. Melupakan waktu yang bergulir semakin cepat.

Jika suatu saat salah satu dari kita mendapat penolakan atau mengalami keterasingan karena tidak sejalan dengan aturan "New Normal" dengan alasan karena rahmat Tuhan, "maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut." (17:28)

Karena segala keputusan yang telah disepakati, sudah pasti mengandung itikad baik demi kemashlahatan bersama, dan sudah pasti banyak menimbang proporsi kehidupan yang sejati. Sedangkan, Sang Maha Adil pun berfirman, "kepada masing-masing (golongan), baik ini maupun itu, kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi." (17:20)

 Jika "New Normal" hanya menitikberatkan demi terjaganya stabilitas perekonomian, dengan ilmu-ilmu pengetahuan berbasis data tanpa kemungkinan melibatkan peran Tuhan yang telah memuliakan akalnya, namun justru menghilangkan keeksistensian-Nya. Maka, jangan terlena jika suatu saat Dia juga ingin lebih dikenal kembali dengan cara yang berbeda. Disaat sudah pasti jika, "sungguh, Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Sungguh, Dia Maha Mengetahui dan Maha Melihat hamba-hamba-Nya." (17:30) 

Lantas apanya yang baru? Jika sudah menjadi kebiasaan pula apabila siksa-siksa yang ditimpakan seringkali terjadi pada masa-masa terdahulu karena kelakuannya sendiri. Dan jangan kaget apabila ampunan yang datang akan dibalas dengan keingkaran kembali oleh sesuatu yang terlanjur telah dimaknai "normal".

28 Mei 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun