Lalu, bagaimana dengan sebagian manusia yang memposisikan diri sebagai hamba Allah? Haruskah ada pilihan taat kepada segala peraturan yang ada? Ataukah hukum buatan manusia bisa disamakan dengan hukum Tuhan?
Coronavirus sebagai Pemilah
Cita-cita, tujuan hidup, kebutuhan seolah menjadi sesuatu yang dikejar oleh kehidupan. Di dalam lingkungan pendidikan di sekolah, di masyarakat, ataupun di lingkungan keluarga, hampir semuanya mengarah ke sesuatu yang bersifat sementara atau mengejar sesuatu yang tak bernilai apapun di kehidupan yang tidak hanya sekali.
Lalu, virus itu datang seolah menjadi sebuah peringatan keras atas perilaku-perilaku yang selama ini terlalu mementingkan hal sekunder yang dibela mati-matian, sedangkan apa yang menjadi kebutuhan primer selah dimudah-mudahkan. Sehingga segala kecemasan yang yang menyeruak yang disebabkan oleh coronavirus pun salah satunya adalah terbolak-baliknya cara pandang dan pemenuhan kebutuhan hidup.
Seolah-olah, terlepas dari segala konspirasi ataupun asal muasal virus ini, yang pasti semua sudah meruang bersama kita semua di kehidupan sehari-hari. Semua diingatkan tentang kematian yang sudah menjadi bayang-bayang kegelisahan, padahal jika kita lebih memilih kematian sebagai nasihat terbaik yang diberikan oleh Sang Pencipta Sejati, adakah Coronavirus masih merupakan sesuatu yang mesti dikebiri? Adakah Tuhan memberikan legalitas ijin terciptanya virus tanpa ada kebaikan yang disiapkan? Adakah cahaya itu tetap selalu terkandung sekalipun di dalam kegelapan?
Kita terlalu latah dan gagap menerima segala informasi, segala tujuan yang telah direncanakan seolah mesti ditunda oleh kehadiran rahmat yang justru banyak diprasangkai sebagai sesuatu masalah.Â
Bahkan kalau memang mereka datang sebagai sebuah masalah, bukankah Simbah telah berkali-kali mengingatkan dengan simulasi respon "syukur atau misuh"?Â
Masalah datang selalu saja disambut dengan misuh-misuh, meski pada akhirnya Simbah selalu mengarahkan untuk berpikir radikal bahwasanya segala masalah yang sudah pasti menyakitkan, latihlah untuk berprasangka baik terhadapnya. Karena ngendikanipun Simbah, masalah yang datang tersebut lebih banyak mengandung kemuliaan atau pada akhirnya hanya sebuah cara untuk memuliakan hamba-hamba-Nya.
Kita seharusnya bersyukur masih diberikan kesempatan melalui sirr-sirr yang tak kasat mata tersebut. Hingga masker menjadi rebutan, produk-produk hand-sanitizer saling berebut komposisi terbaik, bahkan segala efek kekurangan harta benda atau tidak mau kurangnya harta benda sehingga dimunculkanlah maling-maling menjadi sebuah multiefek dari kehadiran Covid-19. Lhoh, kenapa  malah bersyukur?Â
Beruntung kita masih diberi peringatan dengan lembut, tidak seperti apa yang dialami oleh zaman-zaman Nabi dahulu. Kira-kira jika banjir bandang itu datang, kuatkah kita? Atau misalnya melalui bencana-bencana alam lain yang datang tanpa pandang bulu dihadirkan hingga menyisakan populasi kehidupan tak lebih dari 50%, kira-kira siapkah kita?
Ternyata dengan sesuatu yang lembut itu pun, iman-iman yang selama ini diikrarkan ternyata telah goyah. Dengan sapaan virus ini pun, segala hak dan batil seolah secara otomatis terpilah dengan sendirinya. Akan tetapi, keegoisan akan kenyamanan diri ataupu kelompok dengan akalnya seolah mampu menyalahkan segala kelembutan itu,