Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemerintah Baper dan Generasi Lebay

17 April 2020   16:34 Diperbarui: 17 April 2020   16:37 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan tersindir dulu ketika membaca judul esai ini. Anggap saja yang menulis ini ingin menunjukkan kemandiriannya, keangkuhannya, kepintarannya dengan merumuskan segala hal tanpa dasar-dasar keilmuan yang mumpuni.

Jangan merasa tersaingi oleh sesuatu yang dianggap sebagai kesalahpahaman. Mungkin saja ketika kita mengatakan 'salah paham', hal tersebut secara tidak langsung hanya ingin menegaskan maksud 'kita tidak salah'. Mudahnya, mengakui atau mengapresiasi sesuatu yang tidak dapat kita lakukan.

Jangan merasa tidak diperhatikan disaat perhatian begitu banyak tertuju kepada diri kita. Apakah kita hidup hanya untuk mencari perhatian? Atau diri kita yang terlalu banyak menuntut perhatian? Lapar atau doyan?

Apa yang disangka justru tidak seperti yang dinyana. Sesuatu yang diimani belum tentu seperti apa yang telah dipercayai. Bisa-bisa itu hanya acting, atau simulasi sandiwara. Atau justru kitanya yang terjebak oleh bombongan keadaan. Kita sering hati-hati dalam terhadap prasangka, disaat kita juga hobi bermain dengan prasangka.

Jika salah satu dari jajaran pemegang kekuasaan melakukan kesalahan, citra semua 'pemerintah' seolah salah, tidak dapat dipercaya, tidak amanah.

Sedang kita berdiam diri dirumah dan sekedar membaca informasi yang disediakan oleh warta berita online. Padahal, tugas media berita online tersebut adalah mencari berita yang kontroversial agar menarik dan banyak yang mampir membaca.

Kesalahpahaman akhirnya sering terjadi, prasangka sudah terlanjur masif. Kebiasaan mencari kambing hitam atas ketidaksesuaian harapan akan keadaan yang menurut kita baik akan selalu dicari-cari titik kesalahannya. Kita lebih suka mencari kesalahan atas apa yang ada di luar diri kita daripada mulai mencari dari dalam diri sendiri.

Masalah yang seharusnya mudah asalkan kita mau bersatu, menjadi berbelit-belit karena krisis kepercayaan golongan satu dengan yang lainnya. Ya, manusia pada dasarnya lebih suka nimbrung di dalam golongan-golongan tertentu terlepas dari formal atau tidaknya golongan tersebut. Asalkan, kehadirannya mendapatkan apresiasi saja itu sudah cukup menjadi proses rekruitmen yang sederhana.

Lebih tidak adil lagi jika pemegang kuasa a.k.a pemerintah baik-baik saja. Sangat adil dan sangat bijaksana dalam memegang amanah yang diberikan oleh rakyatnya. Lalu, hidup serasa di Surga karena segala hal terpenuhi. Lantas, apakah keadaan seperti itu yang diinginkan? Kita tidak usah bekerja karena sudah mendapatkan asupan dari pemerintah.

Dengan simulasi keadaan tersebut dengan perbandingan realita zaman sekarang, lebih banyak di keadaan mana kita dapat mengambil pelajaran? Seadil-adilnya penguasa tetap ada kasta sosial, kesenjangan ekonomi, ketidakmerataan tingkat kesejahteraan. Bahkan, Tuhan Yang Maha Adil pun menciptakan langit dan cahaya berlapis-lapis, dengan surga dan neraka yang bertingkat-tingkat. Adakah kita mampu mengambil pelajaran?

Pada akhirnya, kita tidak sadar seperti anak kecil yang merengek-rengek kepada para penguasa yang dideskreditkan dengan para pengendali perekonomian. Entah itu berlandaskan ketidakadilan, ketidakbijaksanaan, kebohongan, konspirasi, atau apapun itu. Kita tak lebih dari generasi yang lebay. Keberanian telah jatuh ke taraf kesembronoan. Kemandirian tak lebih dari sekedar budaya caper atau mencari perhatian.

Kita bisa dikategorikan sebagai generasi lebay, rakyat yang suka caper sedangkan pemegang alat pemerintahan sukanya baper dan tidak memiliki ketegasan. Membela atau melindungi sudah menjadi tugas yang mendapatkan amanah. Generasi lebay hanya terlalu banyak menggantungkan harapan, daripada memilih kemandirian. Sehingga akhirnya hanya cuitan-cuitan yang keluar atas pembenaran-pembenaran yang subjektif. Tapi karena itu sudah menjadi keyakinan sebuah golongan, dan akhirnya bersikap kemendel (sok-sokan berani).

Tuhan mungkin saja hanya tersenyum-senyum melihat keadaan ratusan juta jiwa yang bernaung dalam Negara Kesatuan ini. Tidak ada satu jiwa pun yang sanggup luput dari perhatianNya. Ada yang berdiam diri dan menikmati, namun ada juga yang berebut agar supaya suaranya dapat didengarkan. Ada yang bergelora terhadap percepatan perubahan yang dikiranya butuh perubahan atas banyak faktor ketiakadilan, ketidaksejahteraan, ketidakmajuan, dsb. Akan tetapi, disaat ujian akan perubahan itu didatangkan ternyata belum siap dengan keadaan.

Ada yang memilih bertapa, bersunyi, ataupun berdiam diri karena untuk mengubah dirinya saja terkadang terasa sangat sulit. Seolah kehilangan simpati terhadap keadaan negara, namun diam-diam memperhatikan dalam kesunyian, diam-diam membangun tanpa suara, bahkan diam-diam menyadarkan meski tanpa kata-kata.

Solusi berserakan dimana-mana, yang susah adalah menyepakati bersama.

Ketuhanan Yang Maha Esa yang seharusnya ada di sila pertama yang seharusnya bisa menjadi keberangkatan nilai dalam menyelesaikan segala masalah. Akhirnya menjadi ruwet sebagai akibat dari entah telah diletakkan dimana sila yang seharusnya menempati tonggak dasar tersebut.

InsyaAllah, salah satu dari kita merupakan bagian dari salah satu oposisi, mungkin saja ia atau kita adalah bagian prasangka dari salah satu antara baper dan lebay yang kalian pahami. Tentu itu tidak semua, hanya sebagian diantara cendekia yang merasa cendekiawan. Atau diantara para ksatria yang merasa paling berani dan memahami. Atau mungkin juga diantara spiritualis yang merasa dirinya selalu menghamba dan dibela oleh Tuhannya. Mungkin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun