Tidak ada yang membatasi peran yang akan diambil dalam situasi ini. Kecuali paksaan situasi yang akhirnya hanya overload dalam menganalisis data-data informasi yang sangat masif dan akhirnya justru tidak melakukan suatu tindakan apapun.Â
Ya, begitulah! Tenaga tak terasa banyak terkuras habis sebagai akibat dari sikap analitif dan terlalu banyak berkomentar. Padahal, dengan dirinya sendiri ragu, akhirnya tersebarlah keraguan tersebut.
Dan keraguan itu yang terlalu banyak kesimpangsiuran merupakan virus yang lebih mematikan daripada virus-virus yang sedang di puncak eksistensinya saat ini.Â
Virus ini mungkin tidak sanggup menghilangkan nyawa, akan tetapi membutakan mata hati hingga mampu menghilangkan peran Tuhan di dalam kebiasaan berfikirnya. Ia selalu menuntut rasionalitas yang logis, atau bukti-bukti yang nyata dan jelas.Â
Kalau pun bekal atau benteng spiritualitas sudah dirasa kuat, virus ini mampu merubah posisi peran Tuhan tersebut dari yang dinomersatukan, ke urutan yang ke-sekian. Yang bahaya adalah yang terjangkit tidak tersadar dan tetap merasa Dia tetap berada di nomer satu.
Kecongkakan yang luar biasa, bahkan seering dibumbui dengan tangisan-tangisan ketidaktegaan atas apa yang terjadi. Keinginan yang sungguh mulia sering melebihi batas-batas kapasitas diri. Hingga akhirnya luapan-luapan kepasrahan terlontar dengan mengoreksi apa yang di luar diri, daripada apa yang ada di dalam diri.
Memang nampak konyol, diri sendiri yang sudah berbekal 'ilmu yaqin akan melihat kulit terluar permasalahan yang sedang terjadi. Ilmu tersebut seperti fiqih yang hanya wilayahnya hanya sampai batas syariat atau aturan-aturan yang berlaku.Â
Berbeda dengan mereka yang juga menyeimbangkan ilmu itu dengan 'ainul yaqin. Pengetahuan ini menyeimbangkan penglihatan dengan melibatkan peran Tuhan di dalam setiap apa yang dilihat. Sehingga, kita tidak akan mudah melontar-lontarkan pernyataan yang hanya semakin menambah keresahan.
Kenapa? Segala yang sudah terjadi dan sudah dianalisis, didata, dikaji, dan dipelajari, semuanya sudah termasuk di kejadian masa lampau. Kita tidak akan mampu merubahnya, bahkan hujatan-hujatan yang sering keluar seolah hanya merendahkan iradahNya.
Seolah-olah "tidak ada daya dan kekuatan atas ijin Allah" tidak benar adanya. Bukankah dalam sesuatu yang telah terjadi, seharusnya mampu membuat kita lebih bijak karena banyak kandungan hikmahnya?
Apakah kita mampu memaknai dhalim karena kita sudah yakin dengan makna amanah?