Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lockdown, Gerbang Awal Revolusi Spiritual?

9 April 2020   16:30 Diperbarui: 9 April 2020   16:28 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak ada yang membatasi peran yang akan diambil dalam situasi ini. Kecuali paksaan situasi yang akhirnya hanya overload dalam menganalisis data-data informasi yang sangat masif dan akhirnya justru tidak melakukan suatu tindakan apapun. 

Ya, begitulah! Tenaga tak terasa banyak terkuras habis sebagai akibat dari sikap analitif dan terlalu banyak berkomentar. Padahal, dengan dirinya sendiri ragu, akhirnya tersebarlah keraguan tersebut.

Dan keraguan itu yang terlalu banyak kesimpangsiuran merupakan virus yang lebih mematikan daripada virus-virus yang sedang di puncak eksistensinya saat ini. 

Virus ini mungkin tidak sanggup menghilangkan nyawa, akan tetapi membutakan mata hati hingga mampu menghilangkan peran Tuhan di dalam kebiasaan berfikirnya. Ia selalu menuntut rasionalitas yang logis, atau bukti-bukti yang nyata dan jelas. 

Kalau pun bekal atau benteng spiritualitas sudah dirasa kuat, virus ini mampu merubah posisi peran Tuhan tersebut dari yang dinomersatukan, ke urutan yang ke-sekian. Yang bahaya adalah yang terjangkit tidak tersadar dan tetap merasa Dia tetap berada di nomer satu.

Kecongkakan yang luar biasa, bahkan seering dibumbui dengan tangisan-tangisan ketidaktegaan atas apa yang terjadi. Keinginan yang sungguh mulia sering melebihi batas-batas kapasitas diri. Hingga akhirnya luapan-luapan kepasrahan terlontar dengan mengoreksi apa yang di luar diri, daripada apa yang ada di dalam diri.

Memang nampak konyol, diri sendiri yang sudah berbekal 'ilmu yaqin akan melihat kulit terluar permasalahan yang sedang terjadi. Ilmu tersebut seperti fiqih yang hanya wilayahnya hanya sampai batas syariat atau aturan-aturan yang berlaku. 

Berbeda dengan mereka yang juga menyeimbangkan ilmu itu dengan 'ainul yaqin. Pengetahuan ini menyeimbangkan penglihatan dengan melibatkan peran Tuhan di dalam setiap apa yang dilihat. Sehingga, kita tidak akan mudah melontar-lontarkan pernyataan yang hanya semakin menambah keresahan.

Kenapa? Segala yang sudah terjadi dan sudah dianalisis, didata, dikaji, dan dipelajari, semuanya sudah termasuk di kejadian masa lampau. Kita tidak akan mampu merubahnya, bahkan hujatan-hujatan yang sering keluar seolah hanya merendahkan iradahNya.

Seolah-olah "tidak ada daya dan kekuatan atas ijin Allah" tidak benar adanya. Bukankah dalam sesuatu yang telah terjadi, seharusnya mampu membuat kita lebih bijak karena banyak kandungan hikmahnya?

Apakah kita mampu memaknai dhalim karena kita sudah yakin dengan makna amanah?

Segala efek berantai yang timbul akibat keputusan-keputusan yang sering diprasangkai tidak tepat justru memicu keadaan yang lebih chaos. PHK, ketakutan akan ketersediaan makanan, keputusan para penguasa yang tidak menguntungkan rakyat, sering diinterupsi oleh pihak-pihak yang merasa/rumongso dirinya sanggup bahkan mempunyai capability untuk memperbaiki keadaan.

Padahal ketika ditanya, "apa yang sudah kamu lakukan?" Jawaban umumnya sekedar mentaati himbauan untuk tetap berada di rumah, karena itu menyelamatkan. Atau ada yang takut digrebek, atau terkadang lebih memilih patuh dan taat terhadap sanad-sanad penokohan. 

Sampai disini, kemandirian atau kedaulatan berfikir itu perlu dipertanyakan kembali ke dalam diri sendiri. Kenapa? Jangan-jangan virus yang lebih lembut dan halus dari Corona itu telah menyerang kalian.

Jangankan penguasa, dunia ini pun tidak akan pernah adil. Kita hidup di dunia yang jika kita menggantungkan sesuatu kepadanya, ternyata semua penuh dengan kepalsuan. Memang ini masih sangat luas dan jauh untuk dijangkau. Sedang jasad ini seolah selalu merindukan dunia, meski batin sering menahannya.

Kita butuh gerbang yang tidak hanya menyemprotkan cairan disinfektan, karena virus-virus ini telah menjadi pandemi yang tak sanggup dihilangkan dengan cairan-cairan tersebut. 

Bahkan, orang yang terjangkit tak pernah merasa terkena virus penyakit hati ini. Mereka tidak hanya menyerang saluran pernafasan, mereka sanggup masuk melalui pori-pori kulit. Hingga manusia akan sulit untuk menghindarinya.

Sekalipun kita bangun gerbang untuk me-lockdown diri sendiri, itu sangat mustahil menghindari virus yang belum ada alat satupun tercipta yang mampu mengidentifikasinya selama nafas masih berhembus. 

Kita pun menganggap itu merupakan sebuah ancaman, padahal jika kita sudah terbiasa melatih keseimbangan antara ilmu dan penglihatan keyakinan. Hanya ada Tuhan Yang Maha Kuasa dan satu-satunya kebenaran hanya berada di sisiNya.

Tapi, sudahlah. Kita tidak mungkin bisa mengatasi ancaman kecuali memeluknya. Menyikapinya dengan segala resiko rasa-rasa sakit yang mungkin akan tercipta hingga membuat begitu banyak lubang di hati. 

Tapi, tidakkah dari lubang itu nantinya manusia akan menemukan cahaya? Kita selalu menginginkan rasa aman, tapi kita jarang memberi ruang pada kecemasan.

Kita selalu sibuk mencari kebahagiaan, sementara kita lupa atas andil kesedihan yang sudah mendewasakan. Kita selalu menuntut keadilan, sedang kemunafikan atas kata-kata sendiri sering luput dari perhatian. 

Mungkin saja, fenomena yang sering diprasangkai sebagai perang dagang atau ekonomi antar para penguasa global yang kiranya dhalim ini justru membukakan pintu kesempatan yang lain?

Bukankah kemudahan selalu datang bersamaan dengan kesulitan? Bisakah kita tidak memaknai masalah sebagai sesuatu yang datang dari luar diri kita, tetapi masalah itu sesungguhnya berasal dari diri kita? 

Segala fenomena hanyalah alat penguji, hukuman, ataupun rahmat yang perlu ketepatan pengambilan sikap, apakah kita benr-benar tulus mencinta? Merindu? Atau adakah rintihan itu benar-benar aduan kepadaNya atau sebatas kecemasan akan keamanan diri?

Adakah gerbang-gerbang lockdown itu menjadi awal perubahan yang pernah ditawarkan melalui 3 pilihan revolusi sosial, kultural, ataupun spiritual? Dengan datangnya pandemi ini, satu-satunya gerbang perubahan yang memungkinkan adalah revolusi spiritual. 

Dan itu sangatlah kontras dengan kebiasaan umumnya manusia, sekalipun mereka yang sudah termasuk golongan ahli ibadah. Apakah ini ajakan atau dorongan, ataukah kesempatan? "Sungguh konyol!" katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun