Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lockdown, Gerbang Awal Revolusi Spiritual?

9 April 2020   16:30 Diperbarui: 9 April 2020   16:28 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Segala efek berantai yang timbul akibat keputusan-keputusan yang sering diprasangkai tidak tepat justru memicu keadaan yang lebih chaos. PHK, ketakutan akan ketersediaan makanan, keputusan para penguasa yang tidak menguntungkan rakyat, sering diinterupsi oleh pihak-pihak yang merasa/rumongso dirinya sanggup bahkan mempunyai capability untuk memperbaiki keadaan.

Padahal ketika ditanya, "apa yang sudah kamu lakukan?" Jawaban umumnya sekedar mentaati himbauan untuk tetap berada di rumah, karena itu menyelamatkan. Atau ada yang takut digrebek, atau terkadang lebih memilih patuh dan taat terhadap sanad-sanad penokohan. 

Sampai disini, kemandirian atau kedaulatan berfikir itu perlu dipertanyakan kembali ke dalam diri sendiri. Kenapa? Jangan-jangan virus yang lebih lembut dan halus dari Corona itu telah menyerang kalian.

Jangankan penguasa, dunia ini pun tidak akan pernah adil. Kita hidup di dunia yang jika kita menggantungkan sesuatu kepadanya, ternyata semua penuh dengan kepalsuan. Memang ini masih sangat luas dan jauh untuk dijangkau. Sedang jasad ini seolah selalu merindukan dunia, meski batin sering menahannya.

Kita butuh gerbang yang tidak hanya menyemprotkan cairan disinfektan, karena virus-virus ini telah menjadi pandemi yang tak sanggup dihilangkan dengan cairan-cairan tersebut. 

Bahkan, orang yang terjangkit tak pernah merasa terkena virus penyakit hati ini. Mereka tidak hanya menyerang saluran pernafasan, mereka sanggup masuk melalui pori-pori kulit. Hingga manusia akan sulit untuk menghindarinya.

Sekalipun kita bangun gerbang untuk me-lockdown diri sendiri, itu sangat mustahil menghindari virus yang belum ada alat satupun tercipta yang mampu mengidentifikasinya selama nafas masih berhembus. 

Kita pun menganggap itu merupakan sebuah ancaman, padahal jika kita sudah terbiasa melatih keseimbangan antara ilmu dan penglihatan keyakinan. Hanya ada Tuhan Yang Maha Kuasa dan satu-satunya kebenaran hanya berada di sisiNya.

Tapi, sudahlah. Kita tidak mungkin bisa mengatasi ancaman kecuali memeluknya. Menyikapinya dengan segala resiko rasa-rasa sakit yang mungkin akan tercipta hingga membuat begitu banyak lubang di hati. 

Tapi, tidakkah dari lubang itu nantinya manusia akan menemukan cahaya? Kita selalu menginginkan rasa aman, tapi kita jarang memberi ruang pada kecemasan.

Kita selalu sibuk mencari kebahagiaan, sementara kita lupa atas andil kesedihan yang sudah mendewasakan. Kita selalu menuntut keadilan, sedang kemunafikan atas kata-kata sendiri sering luput dari perhatian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun