Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mu'aqabah atas Corona

17 Maret 2020   16:38 Diperbarui: 17 Maret 2020   16:37 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata-kata pun terkadang merasa kesepian jika ia harus berjuang sendirian untuk menenagkan hingga mampu memberikan perlindungan di tengah histeria kepungan wabah yang mematikan. Sebelumya, kata-kata itu menuntun kita agar selalu berhati-hati bukan terhadap virus, melainkan terhadap kata-kata diri sendiri yang sering terkesan takkabur atau sombong.

Benar saja, akibat akses kemudahan untuk mendapatkan sebuah informasi. Semua berlomba-lomba untuk membagikan kebaikan agar penyebaran virus tidak semaikin meluas, atau agar mampu meminimalisir penyebaran wabah yang mulai menyambangi lingkungan terdekat.

Kata-kata ini tersusun hanya untuk sebisa mungkin menemani, berjalan bersama meski berbeda dimensi ataupun ranah intelektualitas yang sangat jelas berbeda. Namun, cinta selalu menuntun untuk memberikan apa saja yang sanggup untuk dimaksimalkan untuk menemani agar kata-kata itu sendiri tidak kesepian dari kesunyian itu.

Sedari pertama kita diajak untuk sadar akan peranan Tuhan khusus dalam kasus pandemi Corona. Sadar bukan berarti lantas menanyakan "dimana" atau "kapan", karena Tuhan sendiri terlepas dari ruang dan waktu, sedang Covid-19 ini adalah wujud yang lembut meski mata telanjang tak mampu untuk melihatnya.

Jelas peranan Tuhan disini mesti disadari, karena sebaik apapun kita mengantisipasi diri agar terhindar dari wabah. Apabila Tuhan berkehandak, lantas apa yang bisa kita berbuat? Dia-lah pemilik segala-galanya, Dia-lah Sang Maha Pencipta meski harus melalui perantara tangan-tangan manusia. Adakah suatu kejadian tanpa andil Tuhan? Disaat Tuhan sendiri selalu dalam kesibukan.

Muraqabah sangat penting untuk dijadikan pondasi dalam melakukan tugas manusia sebagai khalifah di semesta yang dititipkan. Jika kita sedang melakukan suatu ibadah, anggaplah Tuhan selalu mengawasimu. Dan apabila kamu tidak bisa melihat Tuhan, percayalah Tuhan pasti selalu mengawasimu. Kita tidak bisa menggantungkan hidup pada kesementaraan- termasuk manusia-, karena sudah pasti ia hanya akan mendatangkan kekecewaan. Kecuali ketulusanmu mampu menembus dua dimensi sekaligus, yaitu kehidupan dan kematian.

Ketika kacamata muraqabah tersebut sudah bisa dipakai dengan nyaman, adakah pertanyaan-pertanyaan yang dipaparkan oleh Simbah mengenai Muhasabah Corona bisa kita jawab dengan seksama. Tentu, siapapun boleh menjawab maupun meneliti pertanyaan tersebut. Dengan sudut keilmuan atau keahlian yang sudah mulai dikenal oleh masing-masing diri sangat mungkin muncul bermacam variasi jawaban.

Namun, adakah kita mencermati sedikit saja urutan dari pertanyaan tentang muhasabah tersebut? Dari penggalan frasa segala akibat pasti ada sebabnya, sampai Para Ulul Albab milenial yang sedang mencoba untuk berkompetisi dengan kecanggihan teknologi Tuhan.Dari yang pertama siapakah yang menciptakan Covid-19 hingga siapa yang bersalah? Sekelompok manusia, satu bangsa, atau seluruh ummat manusia? Dan pertanyaan tersebut mengarahkan diri untuk bermuhasabah tentang kesalahan dan hukuman.

Apakah lantas kita menyalahkan si Covid-19 ini sedangkan dia hanyalah alat? Virus ini memiliki naluri seperti parasit pada umumnya, dimana dia hanya akan tumbuh dan berkembang biak sesuai dengan habitatnya. Yang menyebabkan kematian pun tidak bisa 100% menyalahkan virus ini, karena dia hidup pun sebagaimana hewan ingin makan dan berkembang biak.

 Seandainya virus yang tumbuh pertama di Wuhan ini memang ada segelintir oknum penciptanya, dendam atau kepentingan apa yang mereka sedang lakukan hingga tega menutup mata atas meninggalnya puluhan ribu orang? Ataukah memang itu peran yang dipercayakan oleh Sang Maha Hidup dengan mematikan rasa ketidaktegaannya demi membalas dendam atau kepentingan apapun itu.

Dan dengan keberangkatan kacamata muraqabah, pada akhirnya muhasabah tersebut hanya akan memantaskan diri untuk menerima hukuman atas segala khilaf yang telah dilakukan sekecil apapun dosa yang telah diperbuat. 

Mu'aqabah atau memberikan sanksi terhadap diri adalah lebih baik daripada mencari kambing hitam atas segala fenomena kematian masal yang sedang terjadi. Dengan menerima segala kemungkinan hukuman yang pantas diterima untuk menyudahi segala wabah sembari meminta ampunan atas segala khilaf yang telah diperbuat.

Asalkan setelah muhasabah tidak ada kaitannya dengan manusia, adakah Tuhan sedang menghukum atau memberikan pelajaran? Atau sekali lagi, Tuhan akan menegaskan amhilhum ruwaydaa? Dengan memberikan waktu untuk lebih banyak menimbang diri atas segala yang akan diperbuat. Tentu, hanya Dia-lah satu-satunya tempat kita bersandar karena Dia-lah sebaik-baiknya pelindung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun