Sebuah rasa tentu memiliki dimensi yang berbeda-beda bagi. Tiap individu yang satu dengan yang lain pasti tidak mungkin memiliki satu kesamaan rasa. Dibutuhkan perbedaan untuk saling melengkapi, saling menguatkan. Karena dari penciptaan rasa yang berbeda itu muncul sudut pandang yang berbeda pula.
Kita terkadang menganggap rasa merupakan bagian dari ego. Tapi bisakah kita memutar balikkan paradigma tersebut dengan menjadikan ego adalah bagian dari rasa? Atau mungkin kita sedikit mundur kebelakang, lebih dahulu mana antara rasa dan ego diri?
Hal tersebut tercipta tentu adanya penglihatan atau pendengaran tentang sesuatu yang akhirnya melibatkan diri. Semua berawal dari respon panca indera yang sudah menjadi hardware diri untuk merespon kinerja semesta, tak hanya sekedar yang difirmankan, melainkan justru lebih banyak menjadi perespon utama bagi ayat-ayat yang tidak difirmankan khususnya semesta.
Rasa tidak mampu mencerna jika tidak ada bantuan panca indera. Namun kita sering menganggap bahwa panca indera merupakan bagian dari jasadiyah yang tidak lebih utama dari olah batin atau rasa. Tidak ada yang lebih diutamakan, semua adalah satu. Hanya saja terkadang ada yang lebih diutamakan tergantung posisi ruang dan waktu. Apa yang menjadi 'utama' itu pun karena ada yang menjadi nomer dua dan seterusnya.
Ya, di zaman yang serba modern manusia berlomba-lomba semakin memoles akalnya agar mendapat penghidupan yang layak dan tentunya agar syahwat ketakutannya akan masa depan segera terpuaskan. Manusia banyak meminta kepada Tuhannya agar dijadikan manusia ahsanu taqwim, namun disaat yang sama pula manusia memiliki hobi untuk mengumbar kebenaran yang sedang didapati melalui akalnya.
Tapi itu pun tidak mengapa jika semua sebenarnya adalah proses perjalanan menuju kemesraan dengan segala yang dicintainya. Bukankah manusia tercipta dan hidup karena cinta? Oleh karena itu, kemesraan itu bagus, yang bahaya itu rumongso sedang bermesraan. Manusia berpura-pura mencari perhatian penduduk langit, akan tetapi hatinya senang sekali mencari perhatian kepada penduduk bumi.
Hanya saja, intelektualitas sering menuhankan akalnya. Tidak begitu berbeda, para ahli agama juga sering terjebak dalam kebenara diri dan merasa apa-apa yang dilakukannya mendapat pembelaan dari Tuhan.
Semua hanyalah kata-kata yang terlantang seperti rasa-rasa yang sengaja tercipta berbeda untuk saling mendapatkan pembelajaran dari satu yang lain melalui segala indera yang dapat dirasakannya. Tuhan ssering sekali mengingatkan agar ta'qilun, tatafakkarun, atau tatadzakkarun. Mencerna kembali, dikalji kembali, agar semua bersama-sama merajut kebahagian dan keindahan bersama.
Tapi, manusia sering abai dan memaksakan kebenarannya. Manusia takut dipenjara oleh keadaan yang memaksa menjadikannya seseorang yang mau prihatin atau menahan segala ego-ego kebenarannya. Manusia terlanjur suka berkata-kata kepada mereka yang sengaja memungut perhatian-perhatian yang telah disebarkannya.
Sedang di dalam manusia sendiri terdapat bagian jasad dan batin yang sebenarnya satu. Dimana antara mereka pun terjadi perdebatan-perdebatan jika kita sering mencoba memahami diri. Jasad sering dprasangkai oleh batin sebagai bagian yang terlalu suka terhadap dunia. Sedang batin sendiri sesungguhnya punya kuasa untuk menitahkan kata-kata kepada seluruh bagian yang ia anggap bagian dari jasad.
"Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan." (Yasiin: 65)
Dan Tuhan memiliki strategi yang tepat untuk mengungkap kecongkakan batin suatu saat. Tuhan memiliki senjata kata-kata yang enggan terlantang selama manusia hidup. Tuhan menciptakan segala panca indera bukan untuk dinomorsatukan atau di berapa-berapakan. Semua adalah satu tercipta sempurna. Semua memiliki potensi ahsanu taqwin yang datang bersamaan dengan asfala safilin.
Mungkin selama ini kata-kata hanya terlantang kepada apa yang sanggup didengar oleh bagian diri yang lain. Akan tetapi, sebenarnya ada pula kata-kata yang enggan terlantang yang hanya mampu dipahami oleh sebagian mereka yang mampu menjadi ruang bagi segala rasa. Bagi mereka yang mampu menunggangi ego yang akan selalu datang sewaktu-waktu.
Bukankah mereka semua adalah penafsir segala ayat-ayat yang tidak difirmankan meski enggan untuk terlantang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H