Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Kelembutan di Sastraliman

10 Maret 2020   16:44 Diperbarui: 10 Maret 2020   17:16 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hari Kamis Malam di Rumah Budaya EAN telah diadakan penerbitan Majalah Sabana edisi ke-12. Cuaca pada malam-malam sebelumnya yang selalu dimesrai dengan hujan, tapi khusus malam ini langit begitu nampak sangat bersahabat. Antusiasme para pengunjung yang hadir pun mengalami peningkatan dari peluncuran edisi sebelumnya yang diadakan di tempat yang sama.

Acara ini pun diberikan nama 'Sastraliman' karena acara sastra ini selalu diadakan setiap tanggal lima. Agenda acaranya bisa workshop menulis sastra ataupun launching edisi terbaru Majalah Sabana. Dan agenda sastraliman malam itu adalah peluncuran Majalah Sabana pada edisi 12 ini dengan mengangkat tema "Sastra dan Perempuan". Pertama-tama, Simbah kemudian mengajak para hadirin untuk sejenak  membayangkan ketika Allah menciptakan laki-laki dan perempuan. Sastra sendiri menurut Simbah adalah perempuan, mengapa?

Simbah melanjutkan dengan memakan penggalan ayat dzakarin wa 'untsa, yang sering dimaknai sebagai identitas untuk menjunjukkan laki-laki ataupun perempuan. Namun, Simbah memberikan sebuah pemaknaan baru (taddabur), bahwasanya hal tersebut menunjukkan sifat maskulinitas/kelaki-lakian atau feminitas/keperempuanan. Jadi, pengertian tentang perempuan disini tidak terbatas pada stigma "kalau belum menjadi seorang ibu, belum menjadi perempuan. Atau jika kamu sudah melahirkan seorang anak, berarti kamu perempuan."

Al-Qur'an sendiri merupakan sebuah kitab yang perlu ilmu kesusasteraan untuk memahaminya. Itupun antara ahli satu dengan yang lainnya belum tentu sama pemaknaannya. Karena ini merupakan ranah kesusateraan, Simbah pun kembali mengajak hadirin untuk belajar bersama, bahwasanya Tuhan itu lebih bersifat keibuan daripada Bapak. Lebih banyak memberi daripada menerima. Pertanyaan tersebut diambil berdasarkan pemaknaan ayat robbun-naas, malikin-naas, ilahin-naas. Tuhan sebagai pengasuh, raja, ataupun penguasa manusia.

Terminologi sifat Tuhan tersebut menjadi penegasan bahwasanya yang paling utama atau awal adalah sifat asuh yang menjadi ciri identik dari sifat keibuan. Kita tentu bisa menilai bagaimana seorang ibu memberikan pengasuhan kepada anak-anaknya. Dari fenomena ini, manusia seharusnya sanggup mengambil poinnya, yaitu jangan mengandalkan kekuatan jangan mengandalkan kekuasaan, tapi pengayoman yang harus diutamakan.

Sekuat-kuatnya seorang bapak, pasti kalah dengan ibu. "Seketergantung-gantungnya ibu sama bapak, akan kalah dengan seketergantung-gantungnya bapak sama ibu." Kata Simbah. Manusia sering memandang jika yang kuat cenderung memiliki sifat keras, layaknya besi atau bangunan kokok lainnya. Namun, pandangan itu tidak abadi. Karena yang kuat sesungguhnya adalah kelembutan. Yang hidupnya abadi adalah manusia yang memiliki kualitas kelembutan tertinggi, hingga mampu menjawab segala kemungkinan kompleksitas yang akan terjadi dengan kelembutannya.

Tentang anjuran untuk menjadi lembut ini tertuang dalam bagian ayat Al-Kahfi 19, wal ya taa lathof, hendaklah ia menjadi lembut. Begitupun yang membuat maiyah betah berjam-jam hingga larut pagi karena luthfun, yaitu adanya kelembutan di jiwa mereka. Yang membuat semua dapat berkumpul bersama. Bahkan, jika si 'dia' memiliki watak keras hati, sering-seringlah mewiridkan 'walyatalathof' itu, canda Simbah.

dokumentasi: @majalahsabana
dokumentasi: @majalahsabana
Semua yang berkumpul pada acara malam hari itu menurut Simbah termasuk dalam kategori manusia yang memiliki hati keluarga, yang mengandung rasa kelembutan. Dan jika kita mau untuk mempelajari lebih dalam tentang kelembutan, tidak mungkin ada sesuatu apapun yang tidak berkeluarga. Salah satu ciri sifatnya adalah sukar marah tapi mudah memaafkan. Tego larane ra tego batine (tega sakitnya, tidak tega batinnya). "Jawa itu luar biasa feminimnya."

Di akhir acara, Simbah memberikan wejangan untuk selalu bersikap lembut. Ciri orang yang lembut menurut Simbah adalah orang yang senang melihat orang lain senang dan bahagia. Sedang kelembutan itu sendiri nantinya akan menghasilkan rasa mudah tidak tegaan melihat sesuatu. "Bekal hidup saya adalah rasa tidak tega." Kata Simbah. Dan jangan sampai kehilangan cara untuk mengucap syukur, karena syukur merupakan jalan menuju hati yang lembut.

Sekitar pukul 23.00, acara pun segera dipungkasi. Sesi foto bersama sembari saling berjabat tangan seakan menunjukkan kelembutan yang berubah menjadi kehangatan keluarga dalam Sastraliman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun