Hari semakin senja, Layla hanya termenung setelah dirinya menghampiri Tama. Kegilaan-kegilaan itu tak muncul selain dirinya sendiri yang tak telah kehilangan kendali. Layla lunglai mengingat apa yang telah terjadi. Ada apa dengan dirinya? Mengapa yang terjadi justru demikian?
Keberanian seolah tiada arti jika omong kosong yang tersampaikan dalam pertemuan. Kesempatan itu akhirnya terbuang sia-sia untuk menyatakan saling. Daun-daun kering  yang berserakan di halaman rumah Tama seolah tampak ingin tertawa menyaksikan kekonyolan itu.
Tama nampak terkejut tatkala itu, seperti melihat keajaiban telah bertemu dengan hati dimana ia biasa menyatu. Oleh rasa yang tak pernah ia sangka-sangkai akan tumbuh semerbak bak sekuntum bunga melati di tengah hamparan Gurun pasir. Mustahil, jika apa yang nampak di depan matanya setelah membuka pintu adalah si Layla.
Seperti biasa, seyum itu seperti prasmanan yang bisa tiap kali kita pilih untuk disantap di warung-warung tegalan. Namun, Tama lebih terlihat enggan untuk menyantapnya dan lebih memilih bersikap biasa saja. Terlebih Layla juga datang bersama Priska.
Dengan raut terkejut, Tama mempersilahkan Layla dan Priska untuk masuk ke dalam rumahnya..
"Mau minum apa? Sekalian mumpung berdiri, biar nanti bisa santai." Tawar Tama.
"Engga usah, Tam. Kita Cuma bentar kok..." Jawab Layla.
"Ya gak boleh gitu, namanya tamu mesti diperlakukan seperti raja. Kalau gak mau milih tak buatin seadanya, soal diminum apa engga gapapa."
"Aku jangan manis-manis ya, Tam." Sela Priska sembari meringis.
"Sapp, gak lagi diet kan?" canda Tama.
Tama pun akhirnya berhasil melarikan diri sejenak. Membuatkan minum tak lebih dari sekedar alasan bagi Tama untuk membuang rasa gugup sekaligus bahagianya. Tama pun di dapur nampak kebingungan, tidak tahu akan berbasa-basi apa terhadap Layla yang tiba-tiba mendadak datang kerumahnya.