Kurang lebih satu tahun yang lalu di Mocopat Syafaat, saya hadir di antara beberapa jamaah yang datang meski hujan yang setia menemani hampir sepanjang malam. Intensitas hujan yang cenderung tinggi membuat halaman TK yang biasanya penuh oleh jamaah, malam itu nampak terlihat longgar akibat tratag yang bocor ataupun genangan air di ha. Beberapa personil Kiai Kanjeng juga terpaksa berhalangan hadir karena keadaan tempat tinggal masing-masing yang belum dirasa aman untuk ditinggal.
Pada rutinan Mocopat Syafaat edisi Maret 2019, terdapat poin penting yang mungkin selalu bisa dijadikan pegangan agar tidak kagetan atau gumunan untuk mengahadapi situasi-situasi yang membuat masing-masing dari kita terhanyut. Bisa dikatakan tulisan ini sebatas memaknai atau mentadabburi rutinan waktu itu. Kurang lebih setahun yang lalu, Mbah Nun pernah berpesan bahwasanya perubahan di Indonesia bahkan di dunia itu baru memungkinkan terjadi jika terdapat 4 sebab, yaitu revolusi, penyakit endemi, benana besar-besaran, dan perang saudara.
Perlu digarisbawahi jika semua itu adalah kemungkinan, bukan sebuah kepastian. Tapi, setidaknya dari apa yang Simbah utarakan tersebut apabila kita pegang, diharapkan mampu membuat jamaah lebih kuat dan tidak mudah terombang-ambing oleh isu-isu yang mungkin meresahakan. Kecuali kalau memang diantara kita ada yang menginginkan perubahan tanpa melalui sebuah ujian, ya silahkan ikut-ikutan heboh dan hanyut oleh banjir informasi yang selalu menghiasi timeline media sosial setiap hari.
Kebetulan, saat ini sedang gencar dengan salah satu penyakit endemi yang diakibatkan oleh virus bernama Corona atau Covid 19. Data-data menunjukkan bahwa dunia sedang dihebohkan oleh virus yang dapat menyebabkan kematian pada siapapun yang terjangkit olehnya. Data-data ini setidaknya bisa menjadi salah satu kejadian dari sebuah kemungkinan yang pernah disampaikan oleh Mbah Nun setahun lalu, yaitu penyakit endemi yang mewujud.
Namun, beruntung Mbah Nun telah memberikan pengetahuan ilmu yang sangat memungkinkan dapat digunakan untuk menghadai keadaan-keadaan seperti ini. Jamaah maiyah telah dibekali kuda-kuda yang seharusnya membuat tidak panik atau gaduh oleh segala apapun yang memungkinkan, terlebih jika kita berharap dan selalu memohon agar segera ada perubahan di zaman yang semakin terbolak-balik cara berfikirnya.
Sebagai jamaah maiyah, tanpa terkena virus, mereka sudah terbiasa terisolasi bahkan tak sedikit yang menjadi terasing oleh lingkungan di sekitarnya. Sebelum terkena virus, mayoritas jamaah juga sudah terbiasa hidup melebihi batas kewajaran hidup sehat sebagaimana tuntutan dokter pada umumnya, misalnya kebiasan hidup begadang, ngopi dan merokoknya.Â
Atau kebiasaan makan kembulan, yang apabila dinilai dengan kacamata kesehatan sangat jauh dari kata higienis. Namun, itulah kenyataannya. Kehidupan dan kematian bagi masyarakat maiyah berjarak sangat tipis. Terlebih Mbah Nun juga sering sekali menyampaikan konsep walaa tansa nashibaka minad-dunya.
Dan, hidup dan mati bukan ditentukan oleh data-data yang membanjiri halaman media sosial, bukan tentang virus yang sedang melakukan ekspansi seiring dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Hidup dan mati sudah pasti ada di Tangan-Nya, sehingga segala apapun yang sedang terjadi membuat kita bersyukur sedang diberikan nasihat terbaik, yaitu mengingat kematian. Namun, segala kejadian yang terjadi tidak semestinya membuat khawatir dan cemas, bahkan jangan sampai hal tersebut menjadi hambatan atau alasan untuk beraktivitas seperti biasanya.
Yang mengambil keuntungan jangan dihujat, yang mengalami kerugian jangan lekas di-bully. Apa yang terjadi sekarang ini mungkin bisa dianggap sebagai salah satu ujian sebelum kalau memang akan ada perubahan. Memungkinkan pengalaman untuk memesrai kematian. Pada akhirnya, kita hanya perlu memberikan ruang kepada segala rasa yang timbul, jangan malah membatasi segala potensi diri untuk menjadi lebih mulia.
Ya, beruntung sekali dulur-dulur yang tetap memegang apa yang telah disampaikan oleh Mbah Nun. Setidaknya, kuda-kuda telah dipersiapkan jauh-jauh hari untuk mengantisipasi segala kompleksitas hidup yang penuh dengan kemungkinan. Karena jika yang ditagih di dalam kehidupan adalah kepastian, jawabannya hanyalah mati. Saya ingat sekali pesan Mbah Nun waktu itu, bahwasanya jangan pernah ada yang mengikuti beliau tanpa ilmu dan kedaulatan berfikir. "Anda harus menjadi anda!" tegas Mbah Nun.
Fenomena virus ini sudah seharusnya menjadi sesuatu yang membuat kita untuk lebih eling lan waspada. Dalam rubrik bongkah pun pernah disampaikan, "Yang paling pokok harus diurus manusia bukanlah kebebasan, melainkan batas-batas. Dengan kata lain, pelajaran utama tentang kehidupan sebenarnya adalah bagaimana menyadari kematian." Jadi, apa salahnya kalau kita sesekali diingatkan untuk memesrai kematian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H