Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Berharap Empati(Ku)

24 Februari 2020   16:25 Diperbarui: 24 Februari 2020   16:35 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
picture : @Mang_Yani

Andai saja, hal itu terjadi di zaman teknologi seperti ini. Apa jadinya? Apakah hashtag-hashtag yang akan membuat trending topik di seluruh belahan jagad dunia virtual dengan segala ucapan kutukan ataupun segala bentuk bela sungkawa. Rasa empati mewarnai segala jagad maya dengan adanya kematian.

Andai saja segala informasi tentang kematian dapat ter-update setiap hari, adakah hari-hari itu akan terwarnai oleh ucapan-ucapan empati? Atau hanya tergantung siapa tokoh dan tipe kematian yang terjadi.

Lalu andai saja lagi, jika memang kematian merupakan puncak keindahan, mungkinkah rasa empati atau syukur yang semestinya terviralkan? Benarkah empati itu tertujukan? Lalu bagaimana dengan orang-orang yang setiap hari berjuang demi penghidupan di atas tanah ketidakadilan? Adik-adik kecil yang mesti membantu orang tuanya mencari nafkah dan meninggalkan proses pendidikan seperti teman-teman sebayanya?

Atau bagaimana dengan ibu-ibu yang mesti berjalan kaki telanjang di pagi hari dengan hawa dingin yang menusuk tulang demi mencari penghidupan yang bukan untuk dirinya? Bagimana tukang kayuh sepeda itu menunggu di pinggir jalanan yang berpolusi penuh harap dan cemas akan adanya pelanggan yang memintanya di zaman yang serba maju ini?

Tentang bagaimana mereka yang hidup dengan penuh kerelaan dan keikhlasan. Mereka yang masih berjuang dalam terpaan zaman yang memaksa tumbuh dengan fitnah dimana-mana. Sedangkan "tiap-tiap jiwa pasti merasakan kematian."

Kematian merupakan satu kepastian bagi yang hidup, kehilangan merupakan satu-satunya kepastian bagi memiliki. Jangan berharap keabadian jika hidup di belantara kefanaan. Jangan memaksa, apalagi berharap sesuatu bernama empati terhadap mati, jika masih ada yang hidup mengais penghidupan di taman ketidakadilan. Terlebih jika mati itu sudah datang berkali-kali.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun