Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Berharap Empati(Ku)

24 Februari 2020   16:25 Diperbarui: 24 Februari 2020   16:35 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore-sore itu, media dikejutkan oleh warta tentang bencana yang terjadi di salah satu daerah yang merenggut beberapa korban jiwa. Namun, demi menghormati keluarga yang ditinggalkan, alangkah baiknya tidak usah menyebutkan detailnya. Terlebih featured image di postingan sebelumnya di blog berjudul "Everything that Happened is Good" memakai rupa wajah seorang bocah mengenakan kaos pramuka. Ndilalah!

Namun, disini merupakan tempat untuk mencari makna yang terlalu mendamba kepada angan. Dimana angan yang semerbak itu sudah pasti penuh ketersesatan dan kelalaian. Jadi, tidak usah terlalu lama untuk nimbrung, terlebih mengikuti segala ketidakjelasan. Saya sama sekali tidak butuh harap ataupun imbalan dari apa yang telah tersampaikan. Terutama lewat suatu penglihatan yang telah dititahkan "terjadilah".

Lantas, megapa suatu kejadian dinamakan sebagai sebuah bencana? Jika sebenarnya banyak hikmat yang terkandung di dalamnya. Mengapa mesti dikatakan sebagai sebuah kejadian na'as? Jika segala sesuatu yang terjadi adalah bukti kasih sayang Sang Maha Pencipta. Dan sudah menjadi kekuasaanNya akan memanggil siapapun yang menjadi milikNya. Di manapun, siapapun, kapanpun. Dan manusia, dengan kesemboronoannya malah menghardik, mencela, bahkan mengutuk segala kejadian yang telah menjadi sewajarnya di pandangan Tuhan.

Namun, apakah Tuhan murka dengan rintihan ataupun makian dari para hambaNya? Atas ketidakrelaan para hambaNya atas segala sesuatu yang menjadi nasib atau takdirnya?

Manusia tidak bisa menerka-nerka, apalagi menebak-nebak suatu kejadian dengan sangkaan itu adalah kehendak Tuhan. Benar, jika semua telah tertulis dalam kitab dengan segala firman-Nya. Akan tetapi, yakinkah? Terlebih dalam setiap kata yang tertulis anggap saja dapat ditafsirkan dengan 7 macam makna. Sebagai akibatnya, perbedaan mesti muncul ke permukaan. Dan perebutan akan kebenaran selalu saja menjadi hal yang tidak pernah selesai.

Dan dari hal yang tidak pernah selesai tersebut, manusia jarang sekali mengambil pelajaran dengan fenomena ataupun gejala yang terjadi berulang-ulang. Ilmu tidak lebih membuat manusia untuk menyadari kematian, namun sebisa mungkin untuk menghindari kematian. Dengan dalil yang biasa dipakai untuk menyanggah para penikmat tembakau.

Padahal 'aku ini sudah pasti milikMu!'. Jika 'aku' sebagai manusia memang menyadari hal tersebut, seharusnya kepergian (kematian) menjadi sebuah puncak pencapaian dalam kehidupan. Cara atau jalan menuju kematian sudah pasti tidak ada yang bisa menyangkanya kecuali orang-orang terpilih. Semua berebut menjadi yang terpilih, semua berebut menjadi yang terbaik. Seolah mereka berlomba-lomba untuk meniru perkataan, kalau dhawuh Simbah seperti terkena penyakit mental "ana khoirun-minhu".

"Tuhan aku memohon jika waktunya tiba, janganlah tenggelamkan aku dalam air sungai yang sedang banjir." Misalnya. Adakah permintaan-permintaan semacam itu? Kecuali jika kematian itu adalah sebuah permintaan untuk diberikan khusnul khotimah ketika ajal itu datang.

Manusia sering pula diberikan sebuah petunjuk dalam ilmu, bahwasanya nasehat terbaik menurut kekasihNya adalah mengingat-ingat kematian di dalam kehidupan yang terus berlanjut. Kita tidak bisa menentang waktu, oleh karenanya menjadi tua bukanlah sesuatu hal yang perlu dihindari. Menjadi tua sendiri adalah suatu keberkahan karena manusia telah diberi waktu untuk menikmati kehidupan di dunia. Diberikan kelonggaran waktu untuk bermuhasabah, bahkan waktu perpenjangan waktu untuk bertobat.

 Segala aksidensi yang bisa manusia lakukan hanyalah sebatas ijtihad atau pencarian terus-menerus mengenai cara terbaik untuk menyambut 'sebuah panggilan'. Sebuah cara untuk menjemput jiwa-jiwa yang terpanggil tidak pernah bisa manusia sangka. Apa jadinya jika manusia mengetahui waktu ajalnya?

Apakah kamu bisa menerimanya seperti Sayyidina Ali yang mengetahui kematiannya akan ditebas dengan sebilah pedang oleh Ibnu Muljam, yang notabene Ibnu Muljam ini adalah seorang yang merasa dirinya lebih baik, seorang hafidz Qur'an. Mengapa Sayyidina Ali tidak menghindar meski mengetahui kematian dengan cara seperti itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun