Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pasukan "Siti Jenar" Generasi Millenial

11 Februari 2020   15:05 Diperbarui: 11 Februari 2020   16:04 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adakah para pembaca sekalian disini yang tidak mengenal Siti Jenar? Atau setidaknya pernah mendengarnya? Kalau misal belum mengenal terlebih sekedar mendengar, mungkin diantara aku, kamu, kami, atau kita masih terlalu banyak mengabiskan malam dengan mata terpejam.

Dari seorang Wali "Sempalan", yang terusir oleh "syariat", hingga Siti Jenar yang abadi, menurut Mbah Nun. SIti Jenar yang diprasangkai menjadi ancaman kekuasaan, legitimasi kebudayaan, gara-gara orang salah paham ketika dia berbicara "Akulah Tuhanmu", atau di sisi lain ketika "Aku datang, sebenarnya Tuhanmu-lah yang datang." Dia Siti Jenar apa "Siti Jenar"? Mbah Nun menekankan, Siti Jenar bukan sebagai figurnya, melainkan ambil substansi dan posisinya.

Ya, kita sering tidak sadar kalau kita sudah terjebak kedalam figur-figur untuk menggantungkan kebenaran-pemikiran yang dibawanya. Seseorang membutuhkan narasi penguat hasil pemikirannya dengan membandingkan dengan pernyataan figur-figur tertentu. Bahkan, kita seringkali tidak menyadari bahwa itu telah mewabah di lingkungan kita sendiri. Hingga menjadi sebuah kewajaran.

Tapi jangan sekali-kali melemparkan gagasan ini kepada khalayak umum, terlebih jika tidak ada kesiapan diri untuk diprasangkai, dihujat, bahkan mungkin dikafir-kafirkan. Manusia memiliki naluri memburu kebenaran, hingga tak sadar telah mengucilkan kesalahan. Padahal, semua itu adalah satu bagian siklus yang mesti kita jalani sebagai manusia.

Pendidikan menjebak kita pada figur-figur tertentu yang membatasi kesadaran tanggung jawab pada diri sendiri, jika kita tidak berangkat dengan bekal kedaulatan berfikir. Mengapa? Karena hal itu akan menyebabkan seseorang hanya mengandalkan perkataan orang lain atas hal yang dilakukannya.

Tidak belajar untuk bertanggung jawab kepada sesuatu yang diucapkannya. Semua orang atau semua manusia melakukan proses plagiasi dalam landasan ara berfikir. Sumber ilmu hanyalah satu. Segala innovasi dan proses kreasi hanyalah cara Tuhan menyeimbangkan semesta lewat tangan-tangan hamba-hambaNya.

Ilmu itu berkah, hidayah, atau anugerah tentu tergantung kepada yang menerima ilmu. Karena terkadang seorang pengajar yang setiap hari menjejali siswanya dengan 'informasi data', masih kalah berkesan dengan ujaran seorang tukang cendol yang mengatakan "urip kui mung mampir ngombe kopi". Pertemuan berkali-kali kalah mengesankan dibandingkan pertemuan sepintas. Kita tidak pernah mengetahui kapan ilmu itu datang, kecuali kita selalu mencarinya.

Jika kita mengambil posisi dan substansi Siti Jenar, kita akan berangkat dengan kesadaran dan tanggung jawab kepada diri sendiri. Kepada setiap tindakan dan ucapan yang dilakukan, bahkan meresap untuk terbiasa bertanggung jawab kepada detil-detil kecil yang difikirkan. Ya, "Aku-lah Tuhanmu" akan mentransformasi figur/tokoh yang harus diikuti menjadi sesorang yang mesti diasihi karena telah meneruskan cahaya ilmu kedalam cara pandangnya sehingga lebih dapat merasakan kemesraan dalam kehidupannya.

Berapa kali Mbah Nun menegaskan dengan keseriusan nadanya, bahwa jangan mengikuti beliau. Belajarlah untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri. Pernyataan beliau ini merupakan pernyataan cinta antara orang tua kepada anak dan cucunya. Pada hari Yaumul Hisab, manusia ketika dikumpulkan di Padang Mahsyar dengan posisi telanjang pun tak sanggup menoleh ke kanan atau kiri karena sibuk memikirkan dirinya sendiri. Hanya syafaat Kanjeng Nabi yang bisa diandalkan.

Tentu kepada diri sendiri kita mesti selfish, karena itu merupakan satu-satunya pilihan. Altruis hanya memnugkinkan jika kita berhubungan dengan sesuatu yang berada di luar diri kita. Itu pun jika tidak penuh kehati-hatian akan memberikan dampak selfish juga kepada lingkungan di luar kelompoknya. Kita secara tidak langsung diajak belajar memanajemen antara Rahman dan Rahim. Cinta keluar  diri (mangap) dan cinta kedalam diri (mingkem).

Banyak yang mesti kita mesti banyak belajar mengenai posisi dan substansi. Dan jangan kaget jika nanti mendadak seperti pasukan Siti Jenar generasi milenial. Sufi abangan karena masih tertarik memikat hati orang lain supaya mendapatkan perhatian melalui status-statusnya. Seorang Zuhud yang masih takut akan masa depan kehidupannya, atau jodoh yang masih ketlingsut entah dimana.

Atau mungkin menjadi sekutu "Siti Jenar" yang datang dengan melamar "kematian". Hingga kesadaran "ketika Aku datang, sebenarnya Tuhanmu-lah yang datang" telah tertanam. Sekali lagi, jika pandangan masih terbatas pada figur-figur tertentu, sebenarnya kita hanya mencari pembenaran bukan kebenaran.

Mereka atau kita sebagai manusia secara tidak sadar akan lebih tertarik dengan kompetisi, daripada mengutamakan kebersatuan. Semua berebut kebenaran daripada manunggal, menyatu, nyawiji kepada Sang Maha Entah! Kecuali jika kamu mengganti arah roji'un diam-diam dari innalillahi menjadi inna fii-dunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun