Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Bermusik dan Mencinta ala KiaiKanjeng

3 Februari 2020   16:31 Diperbarui: 3 Februari 2020   17:50 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grup Musik KiaiKanjeng saat tampil di Mertoyudan, Magelang (dokpri)

Kita, para pejalan maiyah, tentu sangat akrab dengan nama KiaiKanjeng. Dengan keakraban yang sudah terjalin langsung maupun tidak langsung, semua pasti mempunyai makna dan penafsirannya terhadap KiaiKanjeng yang sudah pasti sangat berjasa mengiringi perjalanan sunyi setiap pejalan maiyah dengan alunan musiknya.

Hal ini tentu sangat berbeda jika mesti dikaitkan dengan orang-orang yang belum pernah bersinggungan dengan maiyah, sudah pasti hal yang disangka tentang KiaiKanjeng adalah dari mana asal Kiai tersebut? Namun, hal ini kita skip saja karena kita akan memandang KiaiKanjeng sebagai sesama pejalan maiyah.

Dalam jumlah sinau bareng yang telah diikuti, pernahkah kita merasa ada sesuatu yang kurang tanpa kehadiran KiaiKanjeng? Sudah pasti! Terlebih jika kita hanya terbiasa mengikuti sinau bareng CNKK (Cak Nun & KiaiKanjeng).

Sekalipun ada Mbah Nun, tanpa kehadiran para maestro musik ini, tetap terasa ada yang kurang lengkap. Meskipun ilmu tidak bisa diukur atas dasar "kehadiran siapa", melainkan "kesiapan belajar seperti apa" yang kita jadikan niat awal untuk mengikuti sinau bareng.

Nada-nada yang selalu dibawakan KiaiKanjeng seolah telah menjadi ruh tersendiri dalam konsep sinau bareng. Terbukti, banyak simpul-simpul maiyah yang selalu menggaungkan nada-nada shalawat dari KiaiKanjeng untuk menghadirkan nuansa sinau bareng pada umumnya. 

Strategi penerapan ini seperti sudah menjadi pattern dalam bermaiyah. Karena shalawat itu pula pada akhirnya kita dipertemukan dalam jalan cinta yang sama dalam payung Mutahabbina-Fillah.

Puluhan tahun sudah Pakdhe-pakdhe KiaiKanjeng ini telah membersamai Mbah Nun keman-mana hingga capaian angka yang fantastis. Dan mayoritas capaian angka itu dilakukan tanpa keterikatan dengan media-media tertentu yang sangat bisa berefek pada popularitas.

Namun nyatanya, bukan popularitas yang menjadi spirit rakaat panjang yang dilakukan oleh Pakdhe-pakdhe KiaiKanjeng ini.

Keistiqomahan untuk membersamai sebagian besar temaram malam, tanpa memandang jarak yang mesti ditempuh, hingga kepadatan rentang waktu jadwal sinau bareng, menjadi suatu hal yang mesti bisa dipetik buah hikmahnya hingga menemukan kira-kira formulasi yang tepat untuk dapat kita amalkan dalam kehidupan pribadi masing-masing.

Terkait popularitas, kita sebagai generasi penerus memiliki medan juang yang sangat berbeda terlebih jika dikaitkan dengan perkembangan teknologi. Namun, jangan jadikan perbedaan itu menjadi alasan untuk melebarkan spirit  perjuangan rakaat panjang.

Dengan tantangan tersebut, kita mesti melebarkan spektrum menahan sesuatu atau berpuasa akan hal-hal yang sangat mungkin bisa menjadi tendensi kita untuk menjaga istiqomah dalam melakukan spirit-spirit perjuangan tertentu. Justru, ini bisa menjadi tantangan dan pelecut semangat tersendiri, dalam pencarian otentisitas diri masing-masing.

Peran KiaiKanjeng dalam Sinau Bareng
KiaiKanjeng sudah pasti sangat mahir mengatur dan mengolah ritme ataupun tempo nada-nada dalam bermusik. Akan tetapi, musik ini tidak hanya selalu berkaitan dengan senjata yang selalu dipegang oleh masing-masing personil.

Musik ini juga bisa berupa alur perjalanan sinau bareng itu sendiri. Layaknya sebuah lagu yang mesti diselesaikan dalam satu malam, alur ini harus tetap terjaga agar pada titik-titik tertentu para menikmat lagu tidak mengalami kebosanan.

Peran inilah yang begitu kentara dalam sinau bareng CNKK, ketika pembahasan mulai meninggi, Pakdhe-pakdhe ini mampu mencairkan suasana sinau bareng kembali.

Butuh pengalaman dan jam terbang agar memiliki keberanian untuk improvisasi mengubah suasana dari serius menjadi cair, canda, serta kegembiraan bersama di depan ribuan bahkan puluhan ribu jamaah.

Tempo yang sebelumnya beranjak semakin cepat ketukannya, mampu dijaga frekuensinya agar para jamaah tidak njeblug dalam mengikuti pembelajaran dekonstruksi cara pandang mengenai kehidupan yang selalu disampaikan oleh Mbah Nun yang sudah pasti bertabrakan dengan cara pandang pada umumnya.

Dengan maqom bermusik seperti itu, sudah selayaknya jika KiaiKanjeng mampu menjadi ruang bagi berbagai macam aliran musik tidak hanya level nasional, bahkan internasional mampu dibawakan oleh Pakdhe-pakdhe KiaiKanjeng dengan ciamik. Bahkan, jika ada request dadakan langsung dari jamaah, tanpa latihan pun KiaiKanjeng mampu membawakannya dengan apik.

Pada akhirnya, musik itu sendiri tak beda jauh dari agama atau keyakinan. Dari KiaiKanjeng, kita banyak belajar bahwa musik hanyalah alat untuk menyampaikan ilmu dan nilai kehidupan yang kita dapatkan sehari-hari.

Asalkan, dengan bermusik kita bisa terus mencintai dan membersamai kegelisahan maupun keresahan, hingga mampu merubahnya menjadi kebahagiaan dan keindahan bersama-sama.

Pokoke manteb lah, Pakdhe!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun