Kita, para pejalan maiyah, tentu sangat akrab dengan nama KiaiKanjeng. Dengan keakraban yang sudah terjalin langsung maupun tidak langsung, semua pasti mempunyai makna dan penafsirannya terhadap KiaiKanjeng yang sudah pasti sangat berjasa mengiringi perjalanan sunyi setiap pejalan maiyah dengan alunan musiknya.
Hal ini tentu sangat berbeda jika mesti dikaitkan dengan orang-orang yang belum pernah bersinggungan dengan maiyah, sudah pasti hal yang disangka tentang KiaiKanjeng adalah dari mana asal Kiai tersebut? Namun, hal ini kita skip saja karena kita akan memandang KiaiKanjeng sebagai sesama pejalan maiyah.
Dalam jumlah sinau bareng yang telah diikuti, pernahkah kita merasa ada sesuatu yang kurang tanpa kehadiran KiaiKanjeng? Sudah pasti! Terlebih jika kita hanya terbiasa mengikuti sinau bareng CNKK (Cak Nun & KiaiKanjeng).
Sekalipun ada Mbah Nun, tanpa kehadiran para maestro musik ini, tetap terasa ada yang kurang lengkap. Meskipun ilmu tidak bisa diukur atas dasar "kehadiran siapa", melainkan "kesiapan belajar seperti apa" yang kita jadikan niat awal untuk mengikuti sinau bareng.
Nada-nada yang selalu dibawakan KiaiKanjeng seolah telah menjadi ruh tersendiri dalam konsep sinau bareng. Terbukti, banyak simpul-simpul maiyah yang selalu menggaungkan nada-nada shalawat dari KiaiKanjeng untuk menghadirkan nuansa sinau bareng pada umumnya.Â
Strategi penerapan ini seperti sudah menjadi pattern dalam bermaiyah. Karena shalawat itu pula pada akhirnya kita dipertemukan dalam jalan cinta yang sama dalam payung Mutahabbina-Fillah.
Puluhan tahun sudah Pakdhe-pakdhe KiaiKanjeng ini telah membersamai Mbah Nun keman-mana hingga capaian angka yang fantastis. Dan mayoritas capaian angka itu dilakukan tanpa keterikatan dengan media-media tertentu yang sangat bisa berefek pada popularitas.
Namun nyatanya, bukan popularitas yang menjadi spirit rakaat panjang yang dilakukan oleh Pakdhe-pakdhe KiaiKanjeng ini.
Keistiqomahan untuk membersamai sebagian besar temaram malam, tanpa memandang jarak yang mesti ditempuh, hingga kepadatan rentang waktu jadwal sinau bareng, menjadi suatu hal yang mesti bisa dipetik buah hikmahnya hingga menemukan kira-kira formulasi yang tepat untuk dapat kita amalkan dalam kehidupan pribadi masing-masing.
Terkait popularitas, kita sebagai generasi penerus memiliki medan juang yang sangat berbeda terlebih jika dikaitkan dengan perkembangan teknologi. Namun, jangan jadikan perbedaan itu menjadi alasan untuk melebarkan spirit  perjuangan rakaat panjang.
Dengan tantangan tersebut, kita mesti melebarkan spektrum menahan sesuatu atau berpuasa akan hal-hal yang sangat mungkin bisa menjadi tendensi kita untuk menjaga istiqomah dalam melakukan spirit-spirit perjuangan tertentu. Justru, ini bisa menjadi tantangan dan pelecut semangat tersendiri, dalam pencarian otentisitas diri masing-masing.