Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sinergi Realitas Simbolik dan Berpikir Paralel untuk Membangun Keindahan

23 Januari 2020   16:30 Diperbarui: 23 Januari 2020   16:38 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jamaah dituntut untuk menggunakan daya imajinasinya disertai dengan pemahaman akan ilmu yang telah dipahami mengenai surga. "Adakah besok salah satu kemungkinan kita berada di surga, ya seperti ini (duduk bersama dalam kegembiraan)?" tanya Mbah Nun. Ketika semua keinginan katanya dapat terwujud, adakah itu masih menjadi sebuah keinginan? Kita terbiasa dengan keinginan demi mencari kebahagiaan. Lantas ketika di surga, keinginan sudah tidak lagi menjadi keinginan yang menggembirakan, salah satu yang mungkin dicari atau bahkan membuat takjub adalah keindahan. Dan salah satu keindahan yang bisa dirasakan malam ini adalah duduk bersama dalam kegembiraan sepanjang malam. Tanpa lelah, mengantuk atau tanpa merasakan ingin beranjak dari tempat duduk (misal rasa kencing) semalaman.

Mas Sabrang kemudian memberikan sedikit penjabarannya kaitannya dengan realitas. Manusia sendiri pasti mengalami dua realitas yang berbeda. Pertama, ketika dalam keadaan sadar dan yang kedua ketika manusia mengalami mimpi. Dan yang membedakan kedua realitas ini adalah adanya realitas simbolik. Realitas simbolik ini juga yang membedakan manusia dengan makhlik hidup yang lainnya. Dimana manusia mampu mengambil sesuatu dari sensor yang dimiliki melalui pandangannya, lalu disimbolkan dengan kata-kata.

Pak Muzzamil pun menanggapi apa yang disampaikan oleh Mas Sabrang kemudian seperti menemukan jawaban dan memahami bahwa hal yang telah disampaikan mengenai realitas simbolik tersebut berkaitan dengan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 31, "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, ..." Pak Muzzamil sendiri selama ini mengakui belum menemukan alasan yang menurut beliau pas untuk disampaikan terkait dengan maksud dari 'nama-nama'.

Tidak ada kata yang mampu berdiri sendiri. Ibarat sehelai daun yang pasti membutuhkan tangkai sebagai penopangya. Kata juga pasti membutuhkan kata yang lain agar ia mampu lebih dimaknai lebih spesifik. Segala perdebatan, permusuhan yang terjadi salah satunya adalah karena kata-kata yang sering salah dimaknai. Entah itu dari sisi yang menyampaikan atau yang menerima penyampaian.

Oleh karena itu, selain kesadaran akan realitas simbolik, menurut Mas Sabrang juga dibutuhkan cara berfikir paralel. Ini merupakan cara berfikir yang lebih ditata dan berkonsep. Karena urutan cara berfikir ini dibagi menjadi 4 bagian. Pertama berfikir deklaratif, yaitu cara berfikir dengan menggunakan kata penghubung 'atau' sebagai dasar; kedua berfikir kumulatif, yaitu jika menggunakan kata 'dan'; ketiga berfikir serial, yaitu ketika menggunakan kata 'jika bla bla bla', 'maka bla bla bla'. Nah yang keempat adalah berfikir paralel, sama dengan serial menggunakan dasar jika dan maka, akan tetapi dengan kemungkinan jumlah yang lebih banyak.

Menurut Mas Sabrang, apabila kesadaran simbolik (dengan segala nama-namanya) dan berfikir paralel ini bisa disinergikan, bukan tidak mungkin manusia mampu membangun dunia yang terbebas dari ruang dan waktu-waktu. Bisa membangun dunia di dalam kepalanya.Oleh karena itu pula, orang intelejen kemungkinan sangat antisipatif. Dan orang yang mampu berfikir secara paralel, sangat-sangat mungkin mengatasi kesulitan yang dihadapi.

Tak terasa malam sudah melebihi pukul 01.00 dinihari dan kita belajar sedemikian khusyuk di waktu yang berbeda dari formalitas waktu belajar. Masih ada waktu sekitar 2 jam dan pentas puisi oleh Bapak Mustafa Wachid Hasyim. Dan hampir seluruh jamaah masih duduk tenang memperhatikan khasanah-khasanah keilmuan yang mungkin bisa dipetik sebagai bekal perjalanan pulang. Mengharmonisasi atau memproses keseimbangan diri dengan semesta. Lalu, keseimbangan seperti apa yang tercipta dalam maiyah hingga kita semua mampu melewati malam seperti ini? Atau keseimbangan  model apa yang sudah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh para pencinta ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun