Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Organisme yang "Werruh" Kompleksitas Zaman

18 Desember 2019   15:41 Diperbarui: 18 Desember 2019   15:57 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah ada acara apa hingga kerumunan orang seakan menyempatkan diri untuk datang di Alun-Alun Purwokerto. Atau mungkin karena malam itu adalah malam minggu, yang menjadi waktu yang tepat bagi mayoritas manusia untuk rehat ataupun mencari pelarian setelah kepenatan rutinitas sehari-hari. Beruntung, cuaca agaknya sudah mulai bersahabat, sekalipun tanah masih meninggalkan jejak guyuran hujan yang belum lama usai.

Namun, tujuan saya hanyalah Pendopo Wakil Bupati Banyumas untuk dapat merasakan suasana belajar bersama saudara/i Juguran Syafaat, salah satu simpul maiyah yang berada di kawasan Purwokerto/Banyumas. 

Berhubung perjalanan ini baru pertama kali, ternyata keberadaan "Pendopo Wakil Bupati" di mesin pencarian Mbah Google Maps terdapat lebih dari satu tempat. Mungkin, memang saya sendiri disuruh untuk berkeliling sejenak menikmati suasana malam kota Purwokerto terlebih dahulu.

Walaupun pada akhirnya saya menyerah dan meminta salah satu kerabat yang sudah berada di lokasi untuk shareloc. Ternyata lokasinya memang tak jauh dari pusat kerumunan orang-orang yang sedang mencari penghiburan tadi. Satu baris parkir motor yang nampak masing renggang, beserta jamaah yang sudah siap dengan amunisi kopi yang telah disediakan panitia menjadi pemandangan umum melingkar di rutinan simpul maiyah.

Semakin larut, barisan motor itu nampak mulai penuh dan uniknya mayoritas yang datang ke majelis ilmu ini adalah generasi milenial alias muda-mudi. Generasi milenial yang sedang mencari pelarian dengan lebih memilih untuk menghadiri acara berkonsep sinau bareng daripada panggung megah di pusat kota itu nampaknya sedikit membuat saya sendiri terkesima. Setidaknya, masa depan daerah ini masih ada penyeimbang  yang memperjuangkan atau ngruwat nilai-nilai kehidupan dengan kesederhanaan.

Di Juguran Syafaat sendiri, malam ini adalah acara rutinan bulanan mereka yang ke-81 dengan tema "Warisan DNA". Sekilas membaca mukaddimah yang tertera di buletin, warisan DNA itu sendiri tentang manusia-manusia sebenarnya menginginkan perubahan, sekalipun hasil yang diperoleh terkadang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan atau direncanakan. Akan tetapi, manusia kurang lebihnya telah berinvestasi untuk dapat mewariskan DNA berisi informasi yang lebih lengkap mengenai rumus-rumus perubahan.

Sebelum membahas tema, ada sedikit oleh-oleh cerita dari Mas Hilmi setelah beberapa minggu kemarin ikut agenda rihlah ke tanah Mandar. Agenda yang dilaksanakan atas dhawuh Simbah tersebut bertujuan untuk menyambangi saudara tua yang tinggal di Mandar. Selain itu, napak tilas dan mencari lebih banyak informasi juga secara tidak langsung menjadi misi Mas Hilmi untuk dapat mengetahui apa saja yang telah dilakukan Mbah Nun selama di Mandar.

Beberapa kesimpulan catatan diantaranya telah benyak dimuat di situs resmi caknun.com atau di website resmi simpul dari masing-masing peserta rihlah. Secara kebetulan, saya berjumpa dengan buah hati yang ternyata dimuat dalam buletin Juguran Syafaat edisi bulan Desember. 

Saya juga kemudian dipaksa Mas Rizky untuk menyampaikan beberapa oleh-oleh dari Mandar. Kalau saya mengetahui ternyata ada buah hati yang sudah tertulis, mungkin saya akan menceritakan bagian yang lain, selain negeri tarhim, ziaroh, maupun keberkahan silaturrahmi selama di Mandar. Mengingat begitu banyak berkah yang diterima yang seolah tak terputus oleh waktu.

Salah satu yang berkesan ketika kami pada waktu itu menantakan tentang 'impact' terhadap kehidupan kepada salah satu saudara di Mandar. Dan jawabannya adalah sebuah pesan dari Mbah Nun kepada saudara-saudara Mandar pada waktu itu yang menyatakan bahwa hidup kalian nanti tidak akan berlebihan, tapi berkecukupan. Tentu bukti yang nampak di kehidupan sekarang tetap diiringi dengan keluasan cara pandang melihat kebelakang atau dilandasi latar belakang yang valid.

DNA itu adalah Maiyah!

Mbah Hadi Wijaya, salah seorang pelukis yang sempat juga bersinggungan dengan Mbah Nun, yang juga hadir pada malam hari itu menambahkan sedikit informasi selama 11 tahun di Jogja kisaran tahun 70'-'81 menjadi bagian dari Universita Jalanan para seniman di Malioboro. Menurut beliau, Mbah Nun dulu dikenal sebagai seorang yang nyentrik, tidak suka berbasa-basi, serta rasa setia kawannya yang luar biasa.

Puisi-puisi Mbah Nun pada waktu itu menurut Mbah Hadi memiliki karakertnya sendiri, yaitu tidak mengutamakan kalimat, tapi menggerakkan garis dan makna. 

Mbah Nun merupakan seorang yang berpuasa terhadap hidupnya. Puasa dalam pengertian pengendalian diri yang sangat terjaga atas konsistensi serta kesadaran akan nilai-nilai kebenaran. Karena menurut Mbah Hadi sendiri, di dunia seniman banyak orang besar, namun hanya berfikir besar. Padahal, selain berfikir besar tentu mesti diimbangi dengan jiwa yang besar.

Mengapa hal tersebut penting? Karena banyak yang terjebak pada akhirnya kepada kemuliaannya dan 'lupa' terhadap dirinya sendiri. Mbah Hadi juga mengatakan, "sebaik orang adalah di dalam kemuliaan ia sadar, bahwa ia sedang mengemban tugas dari Sang Maha Hidup."

"Kita mewarisi DNA yang luar biasa, DNA apa itu? Maiyah!" pungkas Mbah Hadi.

kegembiraan dalam suasana sinau bareng | dokpri
kegembiraan dalam suasana sinau bareng | dokpri
Sesekali grup musik KC mengisi dengan lagu-lagu untuk kembali mencairkan suasana atau dengan sholawatan yang semakin menambah luas dimensi cinta kepada Rasulallah dan sedikit-demi sedikit membuka hijab kesadaran akan kesejatian cinta itu sendiri. Begitupun jamaah sangat dipersilahkan untuk memberikan respon dan tanggapan tentang apa yang telah dibahas sebelum masuk ke sesi berikutnya.

Kali ini giliran Mas Agus dipersilahkan untuk memberikan ilmunya. Beliau langsung mengudar tentang kata werruh yang dalam bahasa Indonesia berarti melihat. Mas Agus mengisyaratkan bahwa itu didapat dari kata war-ruh, yang berarti cara pandang sampai menembus batas ruh/esensi. Hal ini menurut Mas Agus membuktikan bahwa orang Jawa telah dilatih untuk melihat sesuatu menembus tembok-tembok yang menghijabi pandangan terhadap kesejatian.

Setiap manusia mempunyai potensi leluhur, maka ada yang disebut trah. "Bagaimana kita bisa mengaktivasi potensi trah?" Mas Agus mengajak jamaah untuk masuk ke dalam lajur pemikirannya. Pertama, carilah informasi tentang leluhur kita, untuk bisa jadi petunjuk untuk mengenali diri kita. Suasana sufistik semakin malam semakin kental dengan pemaparan-pemaparan ilmu yang disampaikan oleh Mas Agus.

Disambung oleh Mas Fikri yang sedikit menyampaikan pendapatnya, terutama hal ini sangat erat berkaitan dengan pernyataan maiyah yang seperti ini-ini saja. Mas Fikri mengibaratkan perusahaan Sony yang telah menyiapkan roadmap Playstation 10 yang akan diluncurkan baru pada tahun 2050, mengapa tidak sekarang? Tentu karena ekosistem atau zaman pada saat ini belum kompatibel.

Lantas apa yang bisa kita lakukan sekarang sebagai organisme maiyah? Menuru Mas Fikri, "yang harus kita lakukan sekarang adalah membangun ekosistem dan setia beristiqomah dalam lingkaran Maiyah." Sebagai organisme maiyah seharusnya kita dapat werruh dan sadar terhadap perubahan zaman. 

Saat ini kita sedang menerima warisan DNA dari peradaban baru, sekaligus kita sedang mewarikan DNA baru tersebut kepada orang lain. Dan tak terasa malam sudah menapaki arah langkah pukul 02.00. Acara pun dipungkasi dengan menlantunkan Hasbunallah sambil saling bersalaman. Sampai jumpa lagi tahun depan!

Purwokerto, 14 Desember 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun