Sedikit menarik ketika kemajuan teknologi semakin memudahkan kita, manusia untuk dapat mencari atau menyaring ilmu sesuai dengan kebutuhan. Rasa ingin tahu manusia pasti akan semakin tumbuh bagaikan kebutuhan akan asupan gizi dalam makanan. Itulah kebutuhan rohani kita, yang terus mencari dan mencari kebenaran. karena kebenaran yang manusia temukan saat ini, belum tentu berlaku di masa yang akan datang.
Dari kemudahan tersebut, setiap insan yang ingin belajar dapat berguru kepada siapa saja, bahkan dengan rentang waktu yang berbeda. Sehingga dari fenomena tersebut muncul istilah tarekat virtual. Yang memungkinkan manusia untuk terbebas dari ikatan golongan-golongan tertentu yang saling berebut kebenaran. Semakin lama mereka akan bosan dengan senandung-senandung kebencian yang sering terlontar.
Laksana hidup di semesta yang tak berbatas, menerobos pagar-pagar pratap ilmu yang sering digunakan dalam sistem pendidikan formal tentang ketauhidan. Hingga mereka melompat ke dalam ruang hakikat, yang sejatinya mesti ditapaki setelah melewati ruang syariat pun dengan ruang tarekat.
Seolah mereka langsung menagih kepada Allah untuk berguru langsung kepadanya, meski kesunyian-kesunyian menjadi jalan yang mesti mereka hadapi. Dianggap aneh bahkan nyeleneh, diasingkan dari teman-temannya karena berbeda pendapat, dikucilkan dari golongannya karena pemikirannya dianggap tak sesuai dengan ajaran alirannya. Bahkan dibuang oleh sistem-sistem yang dirancang demi masa depan kehidupan dunia yang cerah.
Jadi, jalanan akan terasa gelap. Manusia-manusia itu akan mengalami kesepian yang tak terkira sekalipun belum bisa memetik buah dari keadaan itu semua. Kosong atau dikosongkan. Hati lambat laun hanya terisi oleh-Nya. Prasangka-prasangka orang sudah menjadi makanan yang lezat demi bertambahnya kemesraan kepada Sang Pencinta.
Akan tetapi, manusia pilihan itu seringkali terjebak oleh masalah eksistensial. Kemesraan, dengan selalu diingatkan bahkan diisi dengan dzikr untuk terus mengingatNya tiba-tiba kalah dengan keadaan dimana mereka ingin diperhatikan oleh manusia-manusia lainnya. Mereka ingin memamerkan kemesraan itu, karena hanya hal itu yang mampu mereka banggakan.
Seolah kemesraan dari hubungan keintiman itu rela mereka umbar-umbar untuk menjadi bahan tontonan yang sudah pasti tidak menarik bagi manusia lainnya. Lantas buat apa kamu disuruh belajar tentang kesunyian? Buat apa kamu dipertemukan dengan kesepian jika akhirnya kamu hanya akan mengkhianati yang selama ini setia kepadamu?
Ternyata dahaga akan sanjungan masih kau tunggu-tunggu untuk segera kau tuntaskan. Demi, demi, dan demi kehilangan yang selama ini manusia rasakan, sehingga manusia merasa berhak untuk mendapatkan kembali perhatian itu dengan cara yang berbeda.
Mereka menapaki hakikat, tapi kehilangan kendali atas dirinya sendiri dalam tarekatnya menuju makrifat. Meski seolah-olah mereka menjadi lebih keras dari yang selama ini muncul di permukaan. karena mereka mengandalkan kemesraan yang telah dirasa dan dilaluinya. Sehingga merasa dekat, bahkan merasa Tuhan selalu membela pendapatnya.
Hingga ratapan-ratapan virtual sering mereka lontarkan untuk menunjukkan kemesraannya. Mantra-mantra virtual sering mereka tuliskan mengatasnamakan keintimannya. Senandung-senandung virtual pun tak lupa didendangkan untuk menghibur kebenaran pemikirannya sendiri. Dan ungkapan cinta-cinta virtual selalu saja dinyatakan untuk menarik perhatian-perhatian manusia virtual lainnya.
Ah, andaikata manusia langit juga memiliki gadget canggih juga. Asal jangan merek Xiaomi, nanti dikira antek China!