Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lalu, Siapa Gurumu?

29 November 2019   16:26 Diperbarui: 30 November 2019   09:15 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: satanandsuns.com

Di setiap rentang waktu, manusia tak lebih hanya sekedar pejalan. Berpetualang mengarungi drama kehidupan dengan berbagai peran yang disandangnya. 

Dapatkah manusia memilih peran? Terkecuali mereka sekedar menjalankan perintah Sang Sutradara. Layaknya sebuah pertunjukan, semua mesti tersingkap rapi dan saling bersinergi agar pesan dan nilai dapat tersampaikan dengan baik.

Namun, segala drama kehidupan yang diprakarsai oleh Sang Sutradara tidak butuh penonton, tidak butuh untung atau rugi, tidak butuh apresiasi ataupun reward dalam bentuk apapun. 

Naskahnya telah tertulis dalam Lauh Mahfuz. Jadi, semua kehidupan hanyalah sebuah ruang pembelajaran bagi setiap pemeran yang mementaskan drama kehidupannya.

Semua sangkan sesungguhnya hampa, semua rasa pun tak lebih dari sekedar fatamorgana. Semua keadaan yang sering manusia sangka sebagai suatu masalah pun hanya sebuah rekayasa yang telah mendapat ijin untuk lekas ditayangkan ke permukaan. 

Perselisihan ataupun pertikaian yang terkadang mesti dibayar dengan nyawa pun demikian adanya. Semua akan mengalami proses yarjii'un, sebelum benar-benar bertemu dengan rojii'un.

Biarkan manusia yang sibuk bercumbu dengan nafsunya. Karana manusia yang lain tak akan pernah mengetahui yang tersingkap dalam hujatan-hujatan manusia alim yang sering menyatakan perkataannya sebagai sebuah kebenaran. 

Semua berguru kepada sanad-sanad pengetahuan dengan pondasi budi dan pekerti yang masih dibangun dengan materi. Dengan memforsir bahkan mengeliminasi cinta dirinya kepada sesama para hamba, begitu pun dengan semesta.

Padahal, semua itulah perwujudan ilmu dari Yang Maha Pengasih. Tapi, begitulah naluri manusia tercipta untuk bertempur bukan dengan sejarah, bukan dengan sistem pemerintahan, ataupun bukan dalam persaingan kekuasaan nan jaya. 

Namun, pertempuran itu adalah sebenar-benarnya melawan diri sendiri. Untuk selalu meluaskan cakrawala pandang, untuk lebih melebarkan muatan hati

Tapi, semua terlanjur tersingkap oleh hijab-hijab yang mengendap semakin menutupi mata pandang. Mata hati pun seolah telah buta untuk sesekali menerawang kesejatian yang bersembunyi di balik wujud, rupa, bahkan kata yang selalu kita hadapi setiap hari. 

Sehingga, keinginan untuk mencari pun terkubur oleh ketakutan-ketakutan bersifat eksistensial yang mencengkeram niat untuk bertanya kepada rindu yang tak pernah tuntas.

Manusia terlanjur berguru kepada sanad tanpa mau belajar terlebih dahulu mengenali cinta. Siapa bilang manusia makhluk sosial? Kecuali tatkala manusia itu mempunyai kepentingan terhadap manusia lain agar tercukupi kebutuhan atau keinginannya.

Manusia berguru pada pengetahuan tanpa mengetahui cara menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Yang penting gelar di atas kertas didapatkan, lantas bisa digunakan sebagai prasyarat mendaftarkan diri sebagai pegawai. 

Tentu saja, mereka mencari kertas hanya sebatas agar dapat menentukan standarisasi gaji/upah yang akan didapatkan.

Terlebih, manusia berguru kepada para alim 'ulama agar meningkatkan iman dan juga takwa. Aih, pada akhir zaman juga pada akhirnya manusia secara otomatis juga berbondong-bondong kembali memeluk agama, tapi agama itu datang dalam keadaan terasing, begitu pun saat kembali. Pertanyaannya, mengapa ketika mereka secara masif kembali percaya kepada Tuhan, namun keadaannya justru menjadi terasing?

Setiap manusia adalah tokoh utama yang berguru kepada Guru yang sejati. Untuk bersama-sama menyatu dalam kebahagiaan. Tapi, sanad mereka tidak mengajarkan kepada kebersamaan itu, sanad guru mereka tidak mengajarkan cinta. 

Hanya keuntungan-keuntungan dalam beribadah dan keimanan. Tidak mengajarkan kebahagiaan justru suka memberikan ketakutan bahkan kutukan jika tidak sejalan dengan pemikiran sanad gurunya.

Hati-hati, Jangan-jangan kamu memanfaatkan gurumu demi keamanan dan keuntungan diri sendiri. Lalu, siapa Gurumu itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun