Perjalanan ini semata-mata bukan sebatas pergi berlibur atau sekedar silaturrahmi biasa. Terlebih karena mandat yang disampaikan olah Mbah Nun bulan Oktober kemarin di rutinan Mocopat Syafaat. Langsung saja, tertulis agenda di bulan November untuk melaksanakan dhawuh Simbah pergi ke tanah Mandar.
Di tempat tersebut, Simbah menyebut orang-orang disini sebagai saudara tua. Mengapa? Banyak tulisan-tulisan resmi di caknun.com telah banyak menyampaikan informasi sejarah. Meskipun, tak semua tulisan belum mampu mewakilkan ilmu yang didapat ketika berkunjung ke Mandar. Layaknya coretan ketidakjelasan ini, hanya akan bercerita sebagaimana jari-jemari menari sebagaimana mestinya.Â
Akhirnya undangan resmi telah diinfokan mengajak saudara-saudara Simpul Maiyah untuk ikut dalam perjalanan ini 2 minggu sebelum waktu keberangkatan. Terkumpul lah sekitar 16 orang yang bersedia untuk berangkat, atau lebih tepatnya merasa terpanggil oleh ajakan perjalanan rindu dan cinta, Rihlah Mutahabbina Fillah.Â
Tanggal 20 pun kami berangkat dan menyetujui untuk berkumpul di bandara Hasanuddin, Makassar. Karena wilayah asal yang berbeda-beda, begitupun jadwal penerbangan juga tidak bisa disamakan.Â
Kebersamaan ini pun nampak ketika yang paling datang awal bersedia menunggu berjam-jam di bandara menanti kehadiran saudara mereka yang terakhir datang. Dan, kebetulan yang datang terakhir saya sendiri. Meski dengan konsekuensi tidak ikut foto bersama. Meng-ghuraba-kan diri sendiri pada akhirnya menjadi senjata untuk membela diri melawan diri.Â
4 saudara dari Tinambung (Ridwan, Madi, Abul dan Aceng) sudah menunggu di bandara, bahkan mereka rela meluangkan waktunya menunggu kedatangan kami. Terima kasih banyak atas kesediaannya menghiasi perjalanan kami.Â
Pemberhentian kami pertama adalah di salah satu rest area. Uniknya, di tempat ini seluruh orang yang mampir mendapatkan hidangan roti maros yang khas dengan teh manis gratis. Andai saja, tempat seperti ini ada di Jawa, khususnya daerah padat mahasiswa. Lumayan bisa menghemat biaya sekali makan kalau keadaan kepepet.
Saya sempat membuka aplikasi Maps, perjalanan masih harus menempuh perjalanan sekitar 200km dengan waktu tempuh sekitar 6 jam. Namun, sepertinya kami dikemudikan oleh pengemudi-pengemudi handal. Bahkan, Mba Sita menjuluki cara menyetir mereka layaknya supir Sumber Kencono. Siapa yang tidak kenal bus legendaris tersebut? Kecepatan rata-rata 120km/jam dengan kondisi jalan Sulawesi yang masih minim penerangan. "Cara mengemudinya tegel tapi halus" tutur Cak Sutar, salah satu wakil dari Paseban Majapahit.
Perjalanan pun dapat dipangkas dengan memaksimalkan kecepatan, rombongan kami pun tiba di rumah Bu Hijrah, Tinambung, sekitar pukul 02.00 waktu setempat. Sambutan hangat tentu menjadi awal perjumpaan yang mengenang. Alhamdulillah, #RihlahMandar sudah terwujud dan menuntaskan perjalanan yang penuh rindu dan cinta, dalam Rihlah Mutahabbina Fillah.
Dan perjalanan untuk sampai kesini merupakan hadiah yang istimewa di hari yang spesial ini, Matursuwun, Mbah!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H