Perjalanan untuk menuju ka Rumah Budaya EAN - tempat relaunching Majalah Sabana -- sengaja ditempuh out of the box, alias tidak melewati jalan yang dilalui khalayak ramai pada umumnya.Â
Selain karena sebuah pelarian atas kejenuhan atas pandangan semu yang itu-itu saja, kesempatan diperjalankan kali ini mungkin bisa dimaknai sekaligus sebagai ajang berwisata. Menelusuri bantaran sungai hulu yang sering nampak kering ketika sudah berada di area Selokan Mataram.Â
Di antara dusun-dusun yang berada di tepian area perbatasan antar Provinsi. Mencoba 'tuk mencuri energi positif apapun terutama rekahan senyum di antara wajah-wajah yang membalas sapaan yang sedang lalu.
Entah kebetulan atau mungkin Tuhan sedang tidak tega menurunkan hujan. atau dari banyak "mungkin-mungkin" yang lain, hanya BMKG yang sanggup menyaingi kehendak Tuhan atas hujan karena mungkin (juga) telah meramalkan kondisi cuaca sore ini - yang tak sempat hati ini membaca -- begitu cerah.Â
Hingga sunset lambat laun nampak berpendar redup, bersembunyi di balik bukit menoreh. Diselimuti awan jingga yang menemani peristirahatan Sang Fajar. Apalagi, ketika laju mendadak otomatis karena mata tertuju nada-nada yang terdengar syahdu akan keceriaan segerombolan anak yang sedang menghibur dirinya, bermesraan dengan air sungai yang mengalir tenang.
Sementara, pekikan burung-burung Kuntul itu menarik mata pandang ke arah lain. Nampak bayangan sepasang kaki ini, dimana pada kala itu sudah terlunta-lunta jika mesti melangkahkan terus setapak demi setapak di saat-saat yang hampur sama. Dengan tujuan perjalanan cinta yang sama. Senyum pun mekar dengan sendirinya melihat apa yang orang lain sebut kurang gawean, bahkan kebodohan.
Namanya juga sebuah perjalanan. Apa arti perjalanan tanpa sebuah cerita? Dari perjalanan kita sering bertemu dengan pengalaman. Bukankah pengalaman adalah guru terbaik? Kalau begitu, mengapa tidak terus saja mencari perjalanan. Baik itu berjalan atau diperjalankan pasti akan tersirat berbagai makna yang inging diungkap. Hanya saja, kata-kata mulai terlihat dimalaskan, termalaskan, atau mungkin memang sudah malas, hingga akhirnya mulai dipadatkan menjadi sebuah bingkai citra.
Para Teroris Makna
Di dalam salah satu gang kecil di pinggiran keramaian Jalan Wates, yang menjadi tujuan perjalanan tadi. Para pemuda sudah berkumpul untuk mengikuti serangkaian acara malam hari itu. Ketika saya mencoba menunggu di depan toko sebelah Rumah Budaya, seseorang menghampiri seraya bertanya, "Mas, bener ngajinya nanti disini yaa?" katanya sembari tangannya menunjuk arah Rumah Budaya.
Saya sendiri sempat bingung untuk memberikan jawaban. Mau dibilang ngaji tapi suasananya kok berbeda, terlebih karena Mas yang bertanya tadi memakai sarung lengkap dengan pecisnya.Â
Berhubung tema malam hari ini adalah tentang sastra, akhirnya saya putuskan untuk membenarkan pertanyaan Masnya tadi. Lagian namanya ngaji adalah nguri-uri aji atau mencari aji atau ilmu, termasuk acara sastra ini. Meskipun modernisasi memaksa kata ngaji mengalami penyempitan makna hanya sebatas mengkaji ayat-ayat sebuah Kitab dalam Islam.
Acara dibuka sekitar pukul delapan malam waktu setempat. Sebelum Pak Iman membuka pidato kebudayaan, beberapa penyair telah lebih dulu membuka dengan puisi-puisinya yang mengheningkan suasana. Nampak dari keheningan tersebut, puisi yang terkesan lebay di masyarakat umum tidak berlaku disini.Â
Sepertinya semua yang datang adalah penikmat sastra, atau setidaknya mulai menarik perhatiannya kepada sastra. Bahkan, ketika panitia memberikan kesempatan hadirin untuk berpuisi ria, naiklah seorang pemuda yang berdomisili asal Jombang. Apa yang membuat acara ini begitu menarik hingga dirinya rela datang jauh-jauh ke Jogja?
Dalam pidato kebudayaan Pak Iman, ada banyak poin yang bisa dijadikan sebagai bahan perenungan. Salah satunya ketika Pak Iman bercerita ketika Mbah Nun suatu saat pernah berkata kepada beliau, bahwa sebenarnya yang mengurusi sastra itu siapa? Pak Iman sejenak merenung sebelum menyampaikan pendapatnya. Harusnya yang mengurusi aku, dalam artian diri kita. Mbah Nun pun setuju dengan jawaban Pak Iman. Bahwasanya, akulah yang harusnya mengurus, bukan penerbit, bukan pemerintah, bukan dinas budaya, bukan redaksi majalah. "Tetapi aku!" kata Pak Iman dengan tegas.
Seperti telah diketahui, majalah sendiri telah mengalami macet selama kurang lebih 3 tahun. Waktu launching majalah ini pun sengaja ditentukan dengan waktu yang berdekatan dengan Sumpah Pemuda dan bulan bahasa. Namun, semoga saja Sumpah Pemuda tersebut berlaku bukan hanya bagi mereka pemuda-pemudi secara usia, melainkan juga secara mental dan semangat untuk terus berjuang dalam hal apapun.
Dalam edisi ke-10 ini, Majalah Sabana diberi label majalah sastra maiyah dengan tagline-nya,"Maiyah, Sumur Ilmu, Sawah Nilai". Disamping ada kekeliuran perspektif pada majalah-majalah sebelumnya untuk mengapresiasi sastra. Tapi Pak Iman menyampaikan bahwa kehadiran majalanh dengan label baru ini bukan berarti hanya untuk masyarakat maiyah, yang secara khusus memang diharapkan sedia dan mengapresiasi kehadiran  majalah ini. Sehingga Majalah Sabana ini mohon untuk dijadikan media komunikasi antara masyarakat maiyah dengan masyarakat diluar maiyah.
Kurang lebih Mbah Nun menyampaikan bahwa beliau menawarkan agar setiap yang hadir untuk menyadari spektrum cara pandang masing-masing. Maksudnya, kita harus memahami diri kita sendiri sebagai apa agar tidak salah paham terhadap kehadiran majalah ini.
"Ini masalah sastra apa masalah yang lebih besar dari itu?" tanya Mbah Nun kepada para hadirin yang mayoritas adalah para pemuda-pemudi. Mereka seolah diajak agar jangan malas untuk berfikir lebih dalam dan cakrawala pandang yang lebih luas. "Pokoknya, masing-masing harus kembali berdaulat!" lanjut Simbah mempertegas bahwa kedaulatan berfikir itu sangat penting. Bahkan, menurut Syaikh Kamba, kedaulatan berfikir merupakan nomor satu yang mesti dilatih dalam Jalan Nubuwah/Kenabian.
Ya, hal tersebut menjadi andalan untuk mengarungi samudera makna yang tersirat dan berserakan di semesta. Malam hari itu seolah kita diajak untuk belajar mengubah mata pandang yang kita pakai selama ini, bukan hanya kepada kehidupan. Akan tetapi, kepada sastra yang notabene merupakan alat bantu untuk mengungkapkan fakta-fakta yang bersembunyi di balik isyarat-isyarat kata. Bukankah Tuhan juga Maha Penyair? Namun sekali lagi kembali pada kedaukatan diri masing, masing, anda mau memakai mata Tuhan atau mata kepinding?
Hidup adalah tempatnya kemungkinan, fana'. "Kita harus apresiatif terhadap segala kemungkinan. Bukan apa maknanya, tapi yang penting bagaimana kita memaknainya." Kata Mbah Nun. Semua bebas menafsirkan dan mentadabburi, asal makna yang didapat akan lebih mendekatkan diri serta menambah keintiman dengan Tuhan.
Dan di dalam judul "Pada Mulanya Adalah Bukan Kata", terdapat istilah yang menarik perhatian saya khususnya. Al-Irhabiyin -- Para Teroris Makna. Para kaum radikal yang terus memburu makna untuk berusaha terus berjalan mendekati Sang Pencipta. Malam masih panjang hingga pukul tengah malam, dan masih banyak makna yang bisa diudar dalam dimensi dan tajuk kata yang berbeda. Dan, andai saja si kata berani mengekspresikan dirinya ke dalam setiap pemikiran. Selamat dan terus berjuang, Majalah Sabana!
Magelang, 6 November 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H