Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Al-Irhabiyin dalam Relaunching Majalah Sabana

6 November 2019   16:30 Diperbarui: 6 November 2019   16:41 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan untuk menuju ka Rumah Budaya EAN - tempat relaunching Majalah Sabana -- sengaja ditempuh out of the box, alias tidak melewati jalan yang dilalui khalayak ramai pada umumnya. 

Selain karena sebuah pelarian atas kejenuhan atas pandangan semu yang itu-itu saja, kesempatan diperjalankan kali ini mungkin bisa dimaknai sekaligus sebagai ajang berwisata. Menelusuri bantaran sungai hulu yang sering nampak kering ketika sudah berada di area Selokan Mataram. 

Di antara dusun-dusun yang berada di tepian area perbatasan antar Provinsi. Mencoba 'tuk mencuri energi positif apapun terutama rekahan senyum di antara wajah-wajah yang membalas sapaan yang sedang lalu.

Entah kebetulan atau mungkin Tuhan sedang tidak tega menurunkan hujan. atau dari banyak "mungkin-mungkin" yang lain, hanya BMKG yang sanggup menyaingi kehendak Tuhan atas hujan karena mungkin (juga) telah meramalkan kondisi cuaca sore ini - yang tak sempat hati ini membaca -- begitu cerah. 

Hingga sunset lambat laun nampak berpendar redup, bersembunyi di balik bukit menoreh. Diselimuti awan jingga yang menemani peristirahatan Sang Fajar. Apalagi, ketika laju mendadak otomatis karena mata tertuju nada-nada yang terdengar syahdu akan keceriaan segerombolan anak yang sedang menghibur dirinya, bermesraan dengan air sungai yang mengalir tenang.

Sementara, pekikan burung-burung Kuntul itu menarik mata pandang ke arah lain. Nampak bayangan sepasang kaki ini, dimana pada kala itu sudah terlunta-lunta jika mesti melangkahkan terus setapak demi setapak di saat-saat yang hampur sama. Dengan tujuan perjalanan cinta yang sama. Senyum pun mekar dengan sendirinya melihat apa yang orang lain sebut kurang gawean, bahkan kebodohan.

Namanya juga sebuah perjalanan. Apa arti perjalanan tanpa sebuah cerita? Dari perjalanan kita sering bertemu dengan pengalaman. Bukankah pengalaman adalah guru terbaik? Kalau begitu, mengapa tidak terus saja mencari perjalanan. Baik itu berjalan atau diperjalankan pasti akan tersirat berbagai makna yang inging diungkap. Hanya saja, kata-kata mulai terlihat dimalaskan, termalaskan, atau mungkin memang sudah malas, hingga akhirnya mulai dipadatkan menjadi sebuah bingkai citra.

Para Teroris Makna

Di dalam salah satu gang kecil di pinggiran keramaian Jalan Wates, yang menjadi tujuan perjalanan tadi. Para pemuda sudah berkumpul untuk mengikuti serangkaian acara malam hari itu. Ketika saya mencoba menunggu di depan toko sebelah Rumah Budaya, seseorang menghampiri seraya bertanya, "Mas, bener ngajinya nanti disini yaa?" katanya sembari tangannya menunjuk arah Rumah Budaya.

Saya sendiri sempat bingung untuk memberikan jawaban. Mau dibilang ngaji tapi suasananya kok berbeda, terlebih karena Mas yang bertanya tadi memakai sarung lengkap dengan pecisnya. 

Berhubung tema malam hari ini adalah tentang sastra, akhirnya saya putuskan untuk membenarkan pertanyaan Masnya tadi. Lagian namanya ngaji adalah nguri-uri aji atau mencari aji atau ilmu, termasuk acara sastra ini. Meskipun modernisasi memaksa kata ngaji mengalami penyempitan makna hanya sebatas mengkaji ayat-ayat sebuah Kitab dalam Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun