Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Para Dlu'afa dalam Kesunyian

1 November 2019   17:03 Diperbarui: 1 November 2019   17:13 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangankan keadaan yang ada di luar diri kita yang selalu memercikkan cahaya (sepertinya) untuk meminta diceritakan menjadi makna. Mulai dari akal-akalan pemerintah ataupun rakyatnya yang dipaksa masuk akal sekalipun atas nama kemashlahatan, sampai dari keindahan akan indahnya semesta beserta keselarasan pun keharmonisannya yang sebetulnya juga gitu-gitu aja. Mudah ditebak! Fase kenyamanannya stagnan, jiwa petualangannya hanya bersandar pada pengalaman wadag. Dan akhirnya gumunan pada sesuatu yang nampak baru dipandang mata.

Bukan berarti itu semua merupakan sebuah masalah, karena hal tersebut seperti dibiarkan begitu saja. Dan akhirnya menjadi awam, bahkan menjadi candu bagi mereka yang terlahir pada zaman peradaban yang baru. Ada baiknya jika kita mengetahui bahwa batasan untuk menapaki sebuah ilmu itu terbentuk karena kita takut menerobos tatanan yang ada. Kita tidak sadar telah dibatasi, bahkan dikotak-kotakkan dalam memahami kehidupan dan tidak dibiarkan merasakan keintiman dengan Yang Maha Ghaib.

Dan sebuah fenomena baru muncul, sebuah golongan baru. Mereka sangat pintar dan cerdas oleh sebab ilmu yang berserakan dimana-mana. Intelektualitas mereka mengagumkan generasi sebelumnya, ketangkasan mereka melebihi generasi 60an, bahkan religiusitas mereka bak sezaman dengan generasi para nabi.

Andaikata mereka sangat ingin memakan buah mangga. Dengan segala informasi yang tersedia tentang cara mendapatkan buah mangga atau dipermudah untuk dapat mendapatkan mangga, lantas dengan sekejap mereka dapat menghadirkan buah mangga tersebut. Bahkan mereka dapat mengolah mangga tersebut agar dapat lebih menarik perhatian untuk lekas dinikmati.

Tapi, pernahkan kalian mendengarkan ungkapan keserakahan pada akhirnya akan memakan keserakahan? Kepintaran pun akan menelan mentah-mentah kepintarannya. Ketangkasan pun akan menghunus ketangkasannya sendiri. Kenapa hal tersebut bisa terjadi?

Kemarin, ada cerita datang mengungkapkan sebuah cahaya yang terus mengikutinya di malam hari ketika dalam perjalanan pulang. Jangankan kita, bahkan seorang Wali Kutub pun hampir saja tertipu oleh tipu daya-tipu daya semacam itu. Yang mencoba menjerumuskan Syaikh untuk mengikutinya.

Manusia-manusia model baru ini begitu dekat dengan Sang Hayyu. Bahkan bisa saja mereka benar-benar sebuah generasi yang diciptakan atas dasar sebuah ikatan cinta yang saling berbalas. Tuhan seolah menghadirkan mereka dengan kemudahan-kemudahan sangkan paran untuk mengenalNya laksana buah mangga yang dengan mudahnya dapat tersaji seketika.

Hanya saja, mereka seolah hanya mengenal mangga adalah sebatas kulit buah yang terasa manis. Seperti cahaya-cahaya delusi, illusi, ataupun angan-angan yang tetiba menyemburat entah darimana asalnya. Mereka tetiba merasa seperti mendapatkan manis, karomah, bahkan ge-er seolah-olah Tuhan telah dekat dengannya.

Beruntung sekali manusia zaman sekarang dapat dengan jalan pintas mengenal Tuhannya, namun apakah ia benar-benar Tuhan? Lalu, apakah mereka lantas begitu saja dekat tanpa melalui banyak proses atau pengalaman yang bisa dimaknai sebagai ujian keimanan. Seolah-olah Tuhan selalu mengingatkan segala zaman manusia untuk bersiap-siap menghadapi segala ujian keimanan tentu saja yang akan sesuai dengan kapasitasnya. Nah, dengan kecerdasan, ketangkasan, dan kesufian manusia-manusia hybrida baru ini, ujian keimanan seperti apa yang sekiranya pas?

Hey, berhati-hatilah agar tidak lalai dalam sholatmu! Ini rakaat panjang yang belum tentu akan selalu dituntaskan dengan kemenangan seluruh ummat manusia sekali waktu, yang belum tentu bisa dirasakan selama hidup. Manusia ini memahami innama tunshoruna wa turhamuna wa turzaquna bidlu'afaikum. Dimana mereka selalu dilimpahi pertolongan, kemenangan, bahkan rizki oleh Tuhan dan manusia itu melakukan pembelaan terhadap kaum dlu'afa.

Setelah memenangkannya, mereka terlalu lengah untuk terus berjuang. Mereka lupa bahwa hidup adalah perjuangan. Benar saja, bahwa mereka anggap kaum dlu'afa adalah mereka yang dilemahkan, ditindas, bahkan diasingkan. Mereka tidak sadar telah meninggikan dirinya sekalipun atas nama kebaikan, meski sedepa. Maka dari itu, pernahkan kita meluaskan sudut pandang dimensi cara pandang kita? Tentang bagaimanapun, itu hanyalah perang kecil, bahwa yang dianggap dlu'afa belum tentu dirinya lemah, bahkan bisa saja mereka bisa lebih kuat karena keterbatasan-keterbatasan akal kita untuk sanggup menagkap segala makna. Dan yang manusia-manusia ampuh tersebut menganggap itu sesuatu yang manis.

Mereka pun terhenti, seolah Tuhan sengaja menyiapkan kejutan bagi mereka manusia-manusia yang tersayang. Yang selalu berjalan mencari tujuan dengan segala fasilitas kemudahan yang didapat selama ini. Bahwasanya perang besar atau sebuah pertempuran melawan diri sendiri akan disajikan tepat dihadapan mereka masing-masing. Bahwa kamu akan diajak ke dalam keadaan dlu'afa secara kebatinan, bukan secara materialistik yang selama ini mereka citrakan.

Manusia-manusia itu ternyata tak lebih dari serang fakir yang lebih fakir dari mereka yang dianggap dlu'afa. Mereka seolah mengenal Tuhan namun selalu banyak lebih meminta perhatian kepada manusia. Sekalipun dengan menjual ataupun mengobral kalimat-kalimat kebaikan. Inilah keserakahan yang memakan keserakahan, kepintaran yang melenyapkan kepintaran, yang lalai dalam sekalipun mereka tersungkur luruh dalam sujud kepasrahan.

Lalu, mereka akan kembali diberi pertolongan. Manusia itu mulai akan berjalan menyusuri kesunyian. Manusia-manusia itu akan belajar mengenal biji mangga yang pahit. Bahwasanya, mereka selama ini hanya dihadapkan dengan kulit dan daging buah mangga. Manusia-manusia itu akan belajar tidak hanya untuk mencicipi rasa manis, akan tetapi akan belajar tentang bagaimana menciptakan rasa manis. Lalu, menghilang.... Dan selamat menikmati kehilangan yang juga gitu-gitu juga. Namun sungguh beruntung mereka dalam keterasingan yang mengasingkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun