Sehebat apapun kita merangkai kata, baik untuk sekedar komunikasi, penyampaian informasi/pengetahuan, bahkan sebagai tempat pelarian untuk menghibur diri, tak jarang Si Penulis merasa dia-lah perangkai kata-kata tersebut. Ya, pada umumnya memang begitu. Dan masing-masing dari Sang Perangkai Kata sendiri memiliki karakteristiknya sendiri dalam keahliannya menyusun kata.
Semua orang adalah penulis yang terus berproses menggoreskan tinta perjalanan hidupnya. Apakah menulis harus terfokus pada kerumunan kata yang tertuang rapi di atas secarik kertas? Apakah menulis harus berwujud kata-kata, kalimat, atau paragraf yang ditujukan atas dasar niat awal dia merangkai susunan formalitas kata tersebut?
Kesadaran akan terciptanya kata-kata masih sangat minim, mayoritas penulis masih beranggapan bahwa dirinya-lah yang menciptakan kata-kata. Betul jika kata-kata itu takkan tercipta melalui tangan dan ide Sang Penulis. Tapi, adakah kesadaran akan siapa yang menuangkan ide tersebut? Yang terkadang menjadi lawan bicara ketika kamu bermain dengan kata-kata dalam dunianya sendiri.
Hanya saja, semakin ke sini, dimensi ruangnya semakin dikerucutkan, terlebih oleh pemikiran fakultatif yang menyempitkan pandangan tentang apa itu sebuah seni sastra menulis. Menulis bukan tentang sebaik apa kamu menulis cerita, akan tetapi seberapa baik seorang pembaca mampu memaknai kata-kata tersebut. Tentu hal ini pada akhirnya akan bergantung pada selera masing-masing pembaca. Atau sebisa mungkin, penulis menyembunyikan makna yang ingin disampaikan agar tidak nampak di permukaan. Hingga mampu menimbulkan banyak makna dan prasangka.
Kata merupakan suatu wujud yang pada akhirnya mengandung suatu makna untuk dapat dimanfaatkan sebagai apapun. Tergantung kebutuhan dan keinginan, serta selera yang ingin menyingkap makna akan kata yang ditemui. Kecenderungan akan suatu keinginan-lah yang akhirnya mempertemukan pembaca kepada kata-kata yang ditulis oleh para perangkai kata. Tidak usah terlalu ambil pusing, karena pada akhirnya baik penulis ataupun pembaca hanya berada di kisaran pelarian diri untuk sekedar mencari hiburan atau kenyamanan.
Setidaknya ada 3 poin yang membuat kata-kata menuju suatu proses hingga pada akhirnya menimbulkan pemaknaan dari sesuatu yang berada di luar dirinya. Pertama, melalui tangan, bagaimana pada umumnya kata-kata ini diartikan sebagai wujud nyata sebuah kata yang biasanya dimaknai oleh mata pandang manusia. Kedua, melalui mulut. Bukankah suara yang keluar dari mulut sebenarnya juga mewakili kata-kata yang mampu dimaknai dengan pendengaran. Yang ketiga adalah akhlak, bagaimana perilaku kita sehari-hari juga termasuk kata-kata yang mampu dimaknai dengan hati dan akal pemikiran manusia lainnya.
Salah satu contohnya adalah ayat/firman Tuhan. Apakah ayat-ayat Tuhan hanya tertuang pada apa yang tertulis dalam kitab? Adakah ayat-ayat Tuhan yang lain yang tertuang pada semesta? Yang tersirat dalam berbagai macam keindahan, perselisihan, cinta, dan semua kejadian yang terus berproses ini. Ketika kita memahami suatu ayat, pernahkah muncul sebuah pandangan akan suasana ketika ayat itu diturunkan? Ketika tongkat Musa diperintah untuk menjadi sakti, adakah laut juga diperintah untuk terbelah ketika tongkat Musa menyentuhnya?
Ketika kata hanya dapat dimaknai wadahnya saja sebagai seuatu yang tertulis, hal ini ibarat syariat dengan segala ilmu fiqh-nya. Apabila pemahaman tentang kata mulai berproses tidak hanya berbentuk tulisan, melainkan ke dalam suara-suara yang didengar, inilah proses tarekat sebagai suatu jalan proses pemaknaan. Yang ketiga adalah sebuah hakikat, ketika yang tertulis dan yang terdengar mulai bertransformasi lebih ke dalam bentuk suatu pergerakan, gejolak yang terjadi, perilaku sesuatu yang hanya membutuhkan hati untuk ditafsirkan atau dimaknai.
Setelah mengarungi perjalanan di atas, ketiga poin tersebut ibarat sebuah tingkatan yang pada akhirnya akan bermuara pada poin yang keempat. Bermakrifat/mencahayai terhadap kata-kata yang tersirat, baik sebagai objeknya individu ataupun yang tercakup dalam suatu ruang. Sehingga tak sedikit pula yang dapat melihat dampak dari apa yang telah terjadi dari segala pemaknaan proses dalam satu lingkup ruang tersebut. Akan nampak keseimbangan atau ketidakseimbangan hingga seseorang tau apa yang harus dilakukan dan yang baiknya tidak dilakukan. Yang seharusnya diketahui atau baiknya tidak diketahui.
Tentu skala pandang atau ruang dapat dilipat dalam berbagai dimensi sesuai dengan keluasan cakrawala pandangan yang diberikan Sang Pencipta kepada masing-masing insan. Tidak usah mempermasalahkan perbedaan, tapi berpikirlah bagaimana mensinergikan segala perbedaan yang ditemukan. Tidak ada yang sia-sia dalam segala penciptaan-Nya.
Baik buzzer, SJW, influencer, bahkan sampai tokoh-tokoh agama, bahkan semua manusia merupakan penulis kehidupan. Jangan sampai memaksakan kebenaran kalau hasilnya hanya menyulut api perselisihan. Kebijakan diperlukan untuk menghadapi tantangan zaman yang terus berproses. Jangan sampai kata-kata pada akhirnya berkhianat pada kata itu sendiri. Jangan menjadi munafik demi sebuah kepentingan sementara. Jangan terlalu banyak mencipta kata jika pada akhirnya hanya akan diingkari. Lebih baik diam!