Sepertinya hari itu menjadi sangat spesial, bagi dan oleh yang merasa spesial. Banyak faktor yang menyebabkan sesuatu menjadi spesial. Alam pemikiran seakann kompatibel dengan arah dan tujuan darimana dan kemana mereka akan pergi. Tak terhitung makna, baik tertulis ataupun tersirat, yang tercurah dalam wajah-wajah yang menghadiri acara malam hari itu. Yang pada malam itu menginjak usia ke 26 sebagai embrio atau titik lahirnya suatu keluarga.
Ya, sebuah keluarga tanpa ikatan darah, namun dipersatukan karena cinta di jalan yang sama. Meskipun, hakikatnya, semua manusia adalah keluarga. Yang saling mengasihi, saling memperhatikan, saling membicarakan solusi bersama-sama.Â
Tapi, degadrasi cara pandang akan keluarga sendiri itu menjadi pemisah semakin bertumbuhnya zaman. Dan tentu saja kepentingan. Toh, baik buruk sebenarnya kita (manusia) juga akan kembali menyatu, bersatu, menjadi satu. Di salam satu atap yang sama, cinta dan asih Allah SWT dan kekasih-Nya, Muhammad SAW.
Semua akan mendapatkan hikmah dan nikmat yang berbeda-beda. Keberangkatan mereka pun dari dan berada, hingga tujuan yang berbeda. Semua saling belajar untuk mencari otentitas diri, demi memahami fadhillah dirinya masing-masing. Mau mencari dan berjuang adalah proses yang panjang bagi mereka yang diperjalankan. Sedangkan, keinginan pribadi seolah merasa menjadi jalan pintas untuk memisahkan diri bagi mereka yang menuhankan kehendak diri.
Banyak cahaya yang terpancar untuk ditafsirkan. Merefleksikan setiap insan yang tercerakhkan oleh cahayanya sehingga ia bisa memandang. Matahari itu tidak pernah tenggelam dan terus menyinari hati-hati para pejalan ini. Seolah mengerti perkataan Nabi Ibrahim yang berkata, "Aku tidak menyukai sesuatu yang terbenam."Â
Salah satu wujud nyata dari cahaya itu adalah ilmu yang selalu membarui cara penglihatan, terutama mengenai kehidupan. Lantas, bagaimana bisa para pejalan itu begitu suka terhadap pancaran itu? Yang mempertemukan, yang menjadi teman bahkan keluarga, yang membimbing, yang mengasuh, bahkan memberi penghidupan.
Semua pasti menapaki fase kesunyiannya masing-masing. Karena hal tersebut ibarat pintu untuk memfilter cinta yang sesungguhnya. Yang menggerakkan, yang menumbuhkan, yang menghidupkan. Kita semua memiliki potensi untuk dapat menemukan hal tersebut. Tapi, dunia seolah menjadi ujian tersendiri bagi mereka yang bersungguh-sungguh ingin menjadi hamba yang dicintai-Nya.
Tidak ada batasan untuk dapat menemukan rahman-rahimNya yang selalu terucap di setiap awal do'a. Setidaknya hal tersebut menjadi salah satu bukti bahwa Dia selalu ada, hanya saja keinginan diri justru menjadi hijab untuk dapat merasakan rasa asih tersebut. Dan, mereka akan bertemu dengan ketidaksetiaan. Kita akan menemukan pemandangan ruang antara datang dan kembali, atau menetap dan pergi sebagai proses pembelajaran tersendiri.
Tapi, pada akhirnya mereka juga akan bertemu dengan cinta-cinta yang lain dalam ruang yang berbeda. Karena ruh-ruh mereka akan berkumpul bahkan dipertemukan hingga menemukan rasa nyaman dan nikmat yang secara (tidak) sadar diinginkan. Mereka akan membutuhkan jiwa supporter, karena kita manusia ditakdirkan untuk hidup bersama dan berdampingan. Yang pasti para pejalan jangan sampai memutuskan rahmah yang telah tercurah dan memancar terang, sekalipun dalam sunyi.
Tak peduli apapun yang dilakukan, ketika mereka kembali pulang ke rumah ini, mereka akan menemukan kebahagiaan. Dengan melepas segala identitas yang mereka emban, hingga menyatu dalam nikmat yang tercurah. Bahkan sesuatu yang sering disebut sebagai hidayah ini, mampu mereka transformasikan menjadi berkah bukan semata-mata untuk dirinya, namun kemashlahatan ummat.
Kemerdekaan atas dirinya menjadi kunci kebahagiaan. Dengan rumah yang menjadi tempat kita untuk selalu berproses untuk bekal kembali pulang. Tuhan, terimakasih telah membangun dan menciptakan rumah ini, bahkan diijinkan tinggal menetap bersama kebahagiaan ini.Â