Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secarik Kertas Kehidupan

5 Oktober 2019   10:36 Diperbarui: 5 Oktober 2019   11:05 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Untuk Lala, dengan kemudahan komunikasi seperti ini. Ilmu sangat mudah untuk didapatkan, bahkan seperti membanjiri mereka bagi para pencari ilmu. menggantungkan hidup manusia disini lebih Bapak maknai sebagai menokohkan seseorang. Terlepas dari segala label identitas yang melekat pada dirinya. Karena penyakit manusia di dalam banjir ilmu ini adalah mereka terjebak dalam ruang untuk menokohkan seseorang, hingga jika tidak seuai dengan yang sepemikiran. Mereka akan sulit bergaul bahkan membatasi dirinya sendiri untuk dapat hidup bersosial. Solusinya mudah untuk melepaskan diri dari terjebak dalam kubangan ini. Jangan sampai kehilangan cinta. Mereka semua adalah ciptaanNya, tugas kita hanya mencintai. Ketika kamu tepat menggantungkannya, kamu akan diberikan dimensi pandangan cinta yang lebih luas, mungkin." Terang Gus Welly menjawab pertanyaan Lala. " 

Oiya, tadi Lala bertanya 'apakah memungkinkan' kita bergantung kepada yang selain manusia?" Gus Welly merobek secarik kertas dari note kecilnya, lalu memberikannya kepada Lala. Secara tidak langsung, sobekan kertas kecil itu merupakan amanah yang ditugaskan Gus Welly untuk disampaikan kepada teman-temannya yang hanya penasaran saja.

Benar saja, pandangan teman-temannya tertuju oleh sobekan kertas yang diberikan Gus Welly tkepada Lala. Meskipun tidak semuanya.

"Untuk Mas Mukhsin, ini adalah realitas yang Bapak yakin semua mengalaminya. Secara tidak sadar kita memang terlalu banyak mengajukan permintaan kepada orang tua untuk memenuhi segala keinginan-keinginan kita. 

Dan apakah ada orang tua yang tidak berusaha untuk memenuhi kebuthan anaknya?" Mukhsin menggelengkan kepalanya memperhatikan kata-kata Gus Welly.

"Hanya saja, tidak semua orang tua memiliki harta yang cukup untuk memenuhinya sekalipun mereka telah berusaha sekuat tenaga mencari nafkah. Dari oang tua seharusnya kita dapat belajar. Ketika mereka tidak memenuhi kenginan kita, itu bakal menjadi sebuah ujian kesetiaan dan kesabaran kita sebagai orang yang terlahir dari rahim orang tuanya. Terlepas dari segala sifat dan keadaan orang tua, siapakah yang memberikan kekuatan untuk tetap setia dan selalu bersabar?" 

Gus Welly melanjutkan," Dia tidak bisa disubjekkan maupun diobjekkan untuk dijadikan gantungan segala harap ataupun keluh kesah kita. Karena kita sendiri butuk kesesuaian rasa  dengan kapabilitas yang sesuai agar bisa terkait dan menggantungkan diri."

Segala diskusi pun semakin melebar, Gus Welly mempersilahkan para adik-adiknya tersebut jika mau mendiskusikan segala ketidakjelasan kata-kata yang disampaikannya. Hanya satu yang ditekankan beliau, kebenaran itu bisa terletetak dimana saja dan bersifat fluktuatif. 

Terutama mengenai kehidupan, karena kebenaran yang kita temukan sekarang, mungkin saja bisa menjadi kesalahan yang belum kita temui di masa yang akan datang.

Dan Lala menjadi kerumunan banyak teman-temannya yang penasaran dengan apa yang tertulis dalam secarik kertas yang diberikan oleh Gus Welly. Setelah dibuka, ternyata hanya terdapat huruf "ba'()". "Apa maksudnya itu Laa?" temen-temannya bertanya. Dan Lala hanya tersenyum sembari berkata dalam hati bahwa huruf itu mengingatkannya atas apa yang pernah disampaikan oleh Gus Welly tentang Rabbun (Maha Pengasuh).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun