Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menemukan Kejujuran dan Kebijaksanaan "Pejuang Akhir Zaman"

24 September 2019   16:29 Diperbarui: 24 September 2019   16:49 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rona rupa remaja malam itu sedikit mencitrakan kesiapan mental mereka untuk menapaki jenjang kehidupan berikutnya. Setidaknya, hal tersebut yang saya maknai ketika melihat wajah para pemuda-pemudi murid dari SMA N 4 Yogyakarta. Meskipun seharian otak pikiran mereka mesti bekerja untuk memakan ilmu mata pelajaran, namun tak nampak sedikitpun mimik kelelahan teraut di wajah mereka. Justru, kegembiraan dan antusias yang terpancar, menyambut para pejalan maiyah yang berdatangan silih berganti dari luar lingkungan sekolah.

Mbah Nun bersama jajaran kepengurusan sekolah dan tamu undangan yang lain mulai menaiki panggung sekitar pukul 20.00. Acara yang diselenggarakan oleh Rohis sekolah tersebut ini memiliki tema yang menurut Mbah Nun sangat bagus, yaitu "Pejuang Akhir Zaman". Sangat berani bagi jiwa pemuda untuk menyadari sebuah perjuangan di era yang serba tidak jelas. Jika zaman dahulu, musuh nampak nyata. Berbeda dengan zaman sekarang, musuh banyak menyelinap sebagai orang-orang munafik, sehingga sangat sulit untuk membedakan, antara kawan atau lawan.

Di awal pembukaan, Mbah Nun sedikit menyinggung tentang gundul-gundul pacul. Bagi, mereka para pejalan maiyah pasti sudah tidak asing lagi terhadap idiom gundul-gundul pacul beserta maknanya karena sudah sering menjadi tema pembahasan. Lantas, Mbah Nun mengajak menjadikan gundul-gundul pacul sebagai term untuk merangkai pertanyaan-pertanyaan.

"Harus lebih pinter bertanya daripada pinter untuk memberi jawaban." Kata Mbah Nun sembari menjelaskan kalau sekolah hanya melatih para muridnya untuk memberikan jawaban. Bahkan, hanya dibatasi oleh rumusan benar dan salah. Saya sedikit teringat oleh pesan Mas Sabrang di Mocopat Syafaat kemarin bahwasanya tidak ada pengetahuan yang sama sekali tidak ada gunanya. Karena hal ini, mungkin saja akan sangat berpengaruh kepada mentalitas para muda-mudi di masa depan mereka yang akan menjadi arena perjuangan.

Untuk menjelajahi kehidupan ini, mengapa Mbah Nun menyampaikan pesan untuk lebih sering menemukan pertanyaan-pertanyaan mengenai kehidupan sangat bisa dikaitkan dengan kejujuran, menurut subjektivitas saya. Terlebih dalam lingkungan formal tentang "benar dan salah". Nilai akademik hanya memacu pada jawaban yang benar, tanpa memperdulikan bagaimana proses mendapatkan jawaban yang benar tersebut. Ketakutan akan nilai akademik melatih siswa untuk mendapatkan jawaban yang benar terlepas dari baik atau buruknya proses mendapatkannya.

Baik hasil atau proses sama-sama pentingnya. Jika menentukan mana yang lebih baik pasti akan menimbulkan banyak perdebatan dikarenakan perbedaan pengalaman satu dengan yang lain. "Apakah jika benar itu pasti baik? Jangan hanya mengandalkan kebenaran dan harus ada akurasi, syukur bisa menemukan kebijaksanaan." pesan Mbah Nun. Terlebih di zaman yang semakin pintar ditandai dengan semakin bertambah banyaknya jumlah lulusan sarjana, mengapa moral yang terbentuk mesti demikian?

Satu dua nomor lagu oleh Kiai Kanjeng masuk diantara sela-sela pembahasan untuk menambah kekhidmatan sinau bareng malam ini. Memohon kepada Sang Pemilik Pengetahuan untuk lebih mencurahkan cakrawala pengetahuan-Nya kepada hamba-hamba yang masih fakir akan pengetahuan ini. 

Berharap lantunan lagu-lagu yang dibawakan oleh Kiai Kanjeng selain  membawa kegembiraan, pun menawarkan secerca asa bagi para pejalan maiyah yang tertunduk tulus mendengarkan setiap gelombang suara yang mengetuk qalbu, berharap akan sebuah pertemuan atas rasa rindu yang sudah sedemikan lama terpendam. Dalam hening dan segala manifestasi keterbatasan ruang yang 'aku'.

Workshop kali ini agak sedikit berbeda, daripada membentuk kelompok dan memberi bahan diskusi. Mbah Nun lebih meminta beberapa siswa/i dari SMA N 4 Yogyakarta untuk belajar menjadi notulen. Berlatih mencatat segala apapun yang berlansung dalam acara sinau bareng malam ini. 

Hadits itu sebuah pernyataan dari Rasulullah, Akan tetapi, segala buah pernyataan yang tertulis akan sangat bergantung kepada pemikiran yang mendengarkan. Mbah Nun mempunyai maksud agar semuanya belajar untuk lebih cerdas menggambarkan lingkungan informasi yang tersampaikan.

Zaman Rasulullah dahulu sudah akhir zaman, sekarang pun demikian. "Akhir zaman itu maunya kapan? Anda ini sebagai pejuang, anda pejuang di Indonesia, di dunia, di keluargamu, atau dimana? Harus jelas!" 

Mbah Nun menegaskan untuk lebih mengetahui posisinya masing-masing. Agar lebih mengenal otentisitas dirinya terlebih dahulu, syukur-syukur mengenali fadhilahnya untuk melakukan perjuangan sesuai takarannya. Kita mesti pintar menakar diri, dan mengetahui empan papan.

dokpri
dokpri
Ada seorang pemuda mengajukan pertanyaan kepada simbah mengenai sikap generasi millenial. Kebanyakan mengetahui permasalahan atau konflik yang terjadi, namun lebih memilih sikap untuk diam. 

Mbah Nun kemudian bertanya kepada pemuda tersebut, "Menurutmu, berapa presentase perbandingan antara yang lebih memilih masuk gua dengan yang memilih untuk mengambil tindakan?" 

Mbah Nun kemudian mengibaratkan tentang orang-orang yang memperdebatkan jumlah ashabul kahfi yang terkurung di dalam gua. Sama halnya dengan pemuda yang bertanya itu yang masih terikat dengan jumlah akan yang mengetahui kebaikan. Tentang sikap yang diambil, biarkan masing-masing meniti jalan kebaikannya.

Manusia hanya bisa menerka-nerka akan kebenaran sebelum memulai sebuah perjuangan. Di akhir acara Mbah Nun hanya berpesan agar kita belajar Al-Qur'an dan hadits sebanyak-banyaknya dan bebaslah dari ikatan mahdzhab, lalu jadi dirimu sendiri. Karena manusia terlalu sibuk berebut kebenaran golongan/mahdzhabnya masing-masing. 

Berhenti kepada hal "benar dan salah". Lupa akan pentingnya sebuah proses dengan kejujuran meskipun hasilnya tak begitu memuaskan bahkan bisa salah. Akan tetapi lebih memilih mengutamakan hasil 'benar' dengan mengesampingkan kejujuran sebuah proses pencapaiannya.

Pejuang akhir zaman mesti jujur terhadap dirinya sendiri. Kita tak bisa mengandalkan sekolah untuk belajar ilmu kebijaksanaan ataupun kejujuran. Maka dari itu, salah satu kewajiban orang tua adaah membantu anak-anak mengenali dirinya.

Hari ternyata telah berganti lewat larut tengah malam, acara pun mesti dipungkasi dengan beberapa lagu shalawat oleh Kiai Kanjeng. Semua jamaah saling bersalaman dengan kanan kirinya atas instruksi dari SImbah, dan untuk saling ikhlas satu sama lain. Berjuanglah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun