Mbah Nun menegaskan untuk lebih mengetahui posisinya masing-masing. Agar lebih mengenal otentisitas dirinya terlebih dahulu, syukur-syukur mengenali fadhilahnya untuk melakukan perjuangan sesuai takarannya. Kita mesti pintar menakar diri, dan mengetahui empan papan.
Mbah Nun kemudian bertanya kepada pemuda tersebut, "Menurutmu, berapa presentase perbandingan antara yang lebih memilih masuk gua dengan yang memilih untuk mengambil tindakan?"Â
Mbah Nun kemudian mengibaratkan tentang orang-orang yang memperdebatkan jumlah ashabul kahfi yang terkurung di dalam gua. Sama halnya dengan pemuda yang bertanya itu yang masih terikat dengan jumlah akan yang mengetahui kebaikan. Tentang sikap yang diambil, biarkan masing-masing meniti jalan kebaikannya.
Manusia hanya bisa menerka-nerka akan kebenaran sebelum memulai sebuah perjuangan. Di akhir acara Mbah Nun hanya berpesan agar kita belajar Al-Qur'an dan hadits sebanyak-banyaknya dan bebaslah dari ikatan mahdzhab, lalu jadi dirimu sendiri. Karena manusia terlalu sibuk berebut kebenaran golongan/mahdzhabnya masing-masing.Â
Berhenti kepada hal "benar dan salah". Lupa akan pentingnya sebuah proses dengan kejujuran meskipun hasilnya tak begitu memuaskan bahkan bisa salah. Akan tetapi lebih memilih mengutamakan hasil 'benar' dengan mengesampingkan kejujuran sebuah proses pencapaiannya.
Pejuang akhir zaman mesti jujur terhadap dirinya sendiri. Kita tak bisa mengandalkan sekolah untuk belajar ilmu kebijaksanaan ataupun kejujuran. Maka dari itu, salah satu kewajiban orang tua adaah membantu anak-anak mengenali dirinya.
Hari ternyata telah berganti lewat larut tengah malam, acara pun mesti dipungkasi dengan beberapa lagu shalawat oleh Kiai Kanjeng. Semua jamaah saling bersalaman dengan kanan kirinya atas instruksi dari SImbah, dan untuk saling ikhlas satu sama lain. Berjuanglah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H