Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanti Kebijaksanaan Itu Terlahir Kembali

19 September 2019   16:02 Diperbarui: 19 September 2019   16:22 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang sanggup melawan kekayaan dan kedigdayaan? Sekalipun kamu melawannya dengan fakta-fakta kebenaran, bersiaplah untuk kecewa karena kebenaran itu mampu dimanipulasi oleh kedigdayaannya bahkan dibeli dengan kekayaannya. Realita memang terkadang menyebalkan dan Tuhan pun seperti asyik dengan arena permainan-Nya.

Di mana segala hamba-hambaNya saling mengatasnamakan asma-asma suciNya tentu dengan tujuan sebuah kemenangan. Apakah mereka sangka dengan kemenangan tersebut semua permasalahan akan selesai? Pemerataan kesejahteraan segera terwujud? Atau mungkin keadilan lantas sanggup berdiri dengan tegak? Belum pasti. Karena yang bisa kita pastikan sebagai manusia adalah ketidakpastian.

Kita ini hidup di negara yang menjunjung tinggi asas demokrasi pancasila. Tapi, seolah itu seakan-akan hanya perasaan saja. Tagline #ReformasiDikorupsi yang akhir-akhir ini gencar mengenai revisi UU KPK misalnya. Sebagai rakyat biasa dan memang jelata, tidak ada sama sekali kekuatan setidaknya untuk merasakan suaranya terwakilkan di gedung orang-orang yang katanya mewakili rakyat.

Sebagai rakyat, harapan kami kepada lembaga resmi untuk memberantas tikus politik hanya tersisa pada KPK. Tapi, entah kenapa KPK pun sekarang ikut dilemahkan. Persetan dengan Hak Asasi Manusia jika mereka berani terus menggerogoti uang rakyat yang selalu mengais penghidupan dengan keringat mereka. Jika pengedar narkoba saja pantas mendapat hukuman mati, kenapa para koruptor tidak sekalian mendapatkan hukuman yang sama? Lebih tidak berkemanusiaan mana antara para koruptor dan pengedar narkoba?

Sepertinya tidak hanya reformasi yang dikorupsi, tapi semakin lama asas demokrasi pun dikorupsi. Dipermainkan oleh mereka yang merasa dirinya terwakilkan atas nama rakyat. Yang merasa dirinya berjuang atas kesejahteraan, keadilan, kemajuan pembangunan. Mereka yang melakukan korupsi pun ketika mendapatkan hukuman juga masih mendapatkan fasilitas yang bahkan kami sebagai rakyat yang dicuri pun sangat susah untuk dapat memiliki fasilitas ruang seperti penjara mereka.

Di sisi lain, hiburan yang paling murah yaitu menonton TV semakin banyak tereduksi nillainya. Sekalipun sudah dilakukan banyak sensor atau larangan tayang, namun hal tersebut justru menjadi bumerang atau blunder tersendiri bagi KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Semua sama-sama mencari penghidupan, tapi yang ditawarkan KPI hanya tontonan yang baik-baik. Lantas, bagaimana kami para rakyat jelata sanggup memahami sesuatu yang bernilai buruk jika pandangan kami disempitkan.

Wajar saja, jika moral yang terjadi justru berkebalikan dengan tujuan KPI. Daripada mengenalkan kata adzab, bukankah lebih beik mengenalkan rahmat Tuhan? Atau daripada melarang film kartun sekelas Sponge Bob, bukankah lebih baik melarang segala tayangan gosip entertainment? Jangan kira dengan menghilangkan konten negatif akan berdampak pada kemuliaan akhlak. Justru kemuliaan itu akan nampak atau lahir dari rahim-rahim penuh kemaksiatan.

Tontonan itu merupakan bagian dari seni dan kebudayaan. Jangan sampai hal-hal yang ditujukan dengan niat baik mengakibatkan kesempitan proses inovasi dan kreatifitas bagi negara dengan potensi kebudayaan yang sangat kaya ini. Jadikan segala penyiaran di televisi menjadi media pendidikan yang penuh dengan nilai. Tayangan yang mengandung segala negatif pun perlu diperkenalkan kepada para penonton. Biar terjadi keseimbangan pola pemikiran antara yang baik dan yang buruk.

Sadar atau tidak, kebijaksanaan telah hilang. Demokrasi telah ditelanjangi sedemikian rupa. Summun, bukmun, 'umyun, fahum laa yarji'uun (2:18). Mereka tuli, bisu, dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali. Mereka itu siapa? Jawabannya ada pada ayat sebelumnya, mereka dibiarkan menyalakan api dan menerangi sekelilingnya. Namun Tuhan melenyapkan cahayanya dan membiarkan mereka dalam kegelapan. Hingga tidak dapat melihat kebijaksanaan untuk meniti jalan kembali.

Kami mungkin memang tidak bisa apa-apa atas kedigdayaan, kekuasaan, dan kekayaan kalian. Kami mungkin tidak kuasa untuk melakukan pembalasan. Hanya saja tidakkah kalian takut apabila yang melakukan pembalasan adalah pemilik kekasih-kesasihNya yang tersakiti? Bukankah Dia lebih dekat dengan mereka daripada kalian?

Segala anomali ini hanya sanggup dihadapi dengan kesabaran dan keikhlasan. Sebaik apapun upaya kita, sebanyak apapun massa yang diajak, jangan pernah mengharapkan hasil jika lawan sudah tuli, bisu, dan buta. Yang perlu dijaga hanyalah rasa kebersamaan dari lingkungan terdekat. Kebijaksanaan mulai dirapikan, setidaknya diawali dari diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun