Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Supporter Cukup Pragmatis, Tidak Usah Terlalu Fanatik

7 September 2019   11:59 Diperbarui: 8 September 2019   03:55 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Kompas.com/Jalu Wirajati

Sepertinya supporter kita saat ini sedang mendapatkan masa hukuman untuk terus berpuasa kemenangan. Tulisan "F*CK YOU LOSER" yang ditujukan untuk meruntuhkan mental lawan ternyata berbalik arah menikam dirinya sendiri. Meski sempat unggul 2-1, namun pada akhirnya timnas mesti dipaksa menyerah dengan skor 2-3 alias kena comeback.

Saya sendiri merupakan pencinta olahraga sepakbola dan sudah pasti menjadi bagian dari pendukung setia timnas Indonesia dari era Hendro Kartiko sampai Bagas Bagus. Beberapa tahun kebelakang, saya sudah mulai tidak bisa terlalu menikmati persepakbolaan dalam negeri. 

Bahkan, datang ke stadion untuk menonton sebuah pertandingan resmi pun, seingat saya baru dua kali seumur hidup. Yang pertama ketika waktu masih Sekolah Dasar di Stadion Abu Bakrin, Magelang. Yang kedua, menonton final AFF Leg pertama timnas Indonesia VS Malaysia. Entah kenapa tidak ada niat yang tinggi untuk menyaksikan sebuah pertandingan di stadion.

Apakah sudah pantas Indonesia menang? Tanpa mengurangi rasa hormat saya sediri terhadap seluruh pihak yang mencari penghidupan di dunia olahraga paling favorit ini. Jujur saja, saya rasa jika keadaannya terus seperti ini alangkah baiknya jangan harap kepada kemenangan. 

Tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi para generasi muda yang sudah mulai berkecimpung dalam dunia persepakbolaan. Hanya hagemoni dan keuntungan yang diutamakan daripada benar-benar membangun persepakbolaan yang layak untuk dinikmati dan dinanti.

Supporter yang katanya jadi pemain ke-12 yang seharusnya mendukung tim sebaik-baiknya, selalu justru melakukan tindakan ceroboh yang justru kerap merugikan tim yang didukungnya. Saya kerap tidak habis pikir dengan perselisihan antar supporter yang kerap terjadi. 

Jangan katakan hal tersebut lumrah atau itu urusan harga diri. Saya katakan sebenarnya itu adalah hal yang tidak penting, kalian hanya terlalu fanatik kepada komunitas kalian. Kalian hanya ingin diakui sebagai sebuah kelompok. Karena pada akhirnya eksistensi kalian diakui lebih sebagai kelompok daripada mesti kalian lakukan sendiri.

Jika kalian sudah terlalu cinta dan bangga terhadap kelompok supporter kalian. Jagalah integritas tersebut dengan sesuatu yang lebih bermanfaat. Jadikanlah setiap match yang akan diadakan pada partai kandang seperti sebuah hajatan atau kenduri, hingga terbentuklah sebuah nilai pandang jika para tamu tim tandang yang akan datang akan kita suguhi kenikmatan dan kenyamanan, meskipun dengan cara yang sederhana. 

Jadikanlah para tamu itu merasa aman ketika datang ke tempat manapun. Dari pada saling caci dan berkelahi, bukankah lebih baik untuk saling memahami? Dari pada memutus, bukankah lebih baik untuk menyambung tali silaturrahmi?

Kalau masalah supporter selesai, saya kira baru bisa mulai berharap kepada persepakbolaan Indonesia. Kalau sudah saling cinta, kemenangan ataupun kekalahan bukan menjadi poin utama lagi dalam persepakbolaan. Karena mereka sudah lebih mengutamakan pada keindahan daripada kerusuhan. 

Mereka lebih memilih untuk kebersamaan membangun, daripada saling sikut demi puncak eksistensi yang akhirnya justru berdampak pada mentalitas para pemain timnas.

Sebenarnya, problematika seperti ini pun bukan hanya terdapat di persepakbolaan. Bahkan sampai dalam agama pun mereka juga supporter terhadap para mursyidnya. Habib, Kyai, Gus, sampai ke Ustadz bagaikan sebuah tim bagi para supporter. 

Ada yang bijak dan toleran, ada yang mati-matian mengkultuskan, ada yang berfikiran jika perkataan timnya lah yang paling benar. Padahal, para ulama hanya hanya menjalankan perannya demi kehidupan. Berdakwah. Begitupun, tim kesebelasan hanya menjalankan peran formalitasnya. Menjalani pertandingan. Sumber keruwetan adalah cara pemikiran para supporternya.

Tapi, tidak mengapa jika kita melihat semua adalah proses. Semua akan mengalami fase kanak-kanak sebelum menapaki kedewasaan. Sebuah ke-taqlid-an atau fanatisme yang berlebih itu tidak baik. Semuanya yang berlebihan itu tidaklah baik. Sakmadyo, sakdermo wae. 

Kebijakan hanya melekat di beberapa individu dalam suatu komunitas. Saya hanya salut kepada para supporter bijak yang rela merugi tak hanya sebatas materi demi terus berupaya membangu persepakbolaan Indonesia.

Sepertinya cara menikmatiku masih kurang tepat dan belum bijak seperti mereka yang berani merugi demi sebuah kemajuan. Dan jujur saya lebih suka timnas kalah, jika melihat apa yang dipertontonkan supporter berikut caranya untuk menjatuhkan mental lawan kemarin kamis malam. 

Bahkan itu lebih ke merendahkan. Kata-kata adalah do'a. Dan akhirnya terbukti, siapa yang mesti tersungkur di akhir pertandingan? Permainan ini hanya 90 menit, mari kita belajar menikmati dengan mental dengan sikap yang tepat. Tapi, mungkin perjuangan untuk membenahi diri sendiri dalam persepakbolaan tidak pernah terhenti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun