Sebenarnya, problematika seperti ini pun bukan hanya terdapat di persepakbolaan. Bahkan sampai dalam agama pun mereka juga supporter terhadap para mursyidnya. Habib, Kyai, Gus, sampai ke Ustadz bagaikan sebuah tim bagi para supporter.Â
Ada yang bijak dan toleran, ada yang mati-matian mengkultuskan, ada yang berfikiran jika perkataan timnya lah yang paling benar. Padahal, para ulama hanya hanya menjalankan perannya demi kehidupan. Berdakwah. Begitupun, tim kesebelasan hanya menjalankan peran formalitasnya. Menjalani pertandingan. Sumber keruwetan adalah cara pemikiran para supporternya.
Tapi, tidak mengapa jika kita melihat semua adalah proses. Semua akan mengalami fase kanak-kanak sebelum menapaki kedewasaan. Sebuah ke-taqlid-an atau fanatisme yang berlebih itu tidak baik. Semuanya yang berlebihan itu tidaklah baik. Sakmadyo, sakdermo wae.Â
Kebijakan hanya melekat di beberapa individu dalam suatu komunitas. Saya hanya salut kepada para supporter bijak yang rela merugi tak hanya sebatas materi demi terus berupaya membangu persepakbolaan Indonesia.
Sepertinya cara menikmatiku masih kurang tepat dan belum bijak seperti mereka yang berani merugi demi sebuah kemajuan. Dan jujur saya lebih suka timnas kalah, jika melihat apa yang dipertontonkan supporter berikut caranya untuk menjatuhkan mental lawan kemarin kamis malam.Â
Bahkan itu lebih ke merendahkan. Kata-kata adalah do'a. Dan akhirnya terbukti, siapa yang mesti tersungkur di akhir pertandingan? Permainan ini hanya 90 menit, mari kita belajar menikmati dengan mental dengan sikap yang tepat. Tapi, mungkin perjuangan untuk membenahi diri sendiri dalam persepakbolaan tidak pernah terhenti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H