Malam semakin syahdu terlebih ketika Kyai Kanjeng mendendangkan lantunan-lantunan sholawatnya. Untuk Mbah Nun dan Kyai Kanjeng sendiri, ini adalah malam ke-12 secara berurutan setiap malam ada acara sinau bareng sampai lebih tengah malam. Berkeliling pulau Jawa untuk menggembirakan rakyat yang haus akan siraman rohani dengan cara yang berbeda.
Ibu Bupati menjadi salah satu wakil dari sosok pemimpin yang naik mendampingi Mbah Nun di atas panggung. Beliau menyampaikan sedikit bercerita mengenai tugas yang diembannya. Begitu juga dengan Bapak direktur rumah sakit sendiri, beliau juga diberi kesempatan untuk menceritakan pengalaman yang mungkin sanggup untuk dijadikan pembelajaran bersama.
Yang menjadi perhatian adalah bagaimana Ibu Bupati dengan tegasnya menyampaikan bahwasanya ketika sedang sakit, jangan sungkan untuk berobat. Masalah biaya bukanlah permasalahan utama bagi mereka yang mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kesehatannya. Pak Direktur pun juga menegaskan kalau rumah sakit selalu mengoptimalkan pelayanan yang terbaik kepada seluruh lapisan masyarakat. Semoga apa yang diutarakan oleh para pemimpin dapat menjadi suatu amanah sekaligus tanggung jawab untuk menggapai ridho-Nya.
Transaksi yang terjadi di sinau bareng kali ini adalah transaksi murni antara para pemimpin dan rakyatnya secara langsung. Transaksi murni yang terjadi malam hari ini bukanlah transaksi yang biasa diartikan secara umum, namun transaksi ini berupa akhlak dan cinta. Apa yang disampaikan para pemimpin tadi menunjukkan akhlak dan cinta kepada rakyatnya.
Mbah Nun lalu menyelaraskan dengan mentadabburi surat An-Naas. Ayat 1-3 menurut Mbah Nun mengindikasikan urutan tentang cara Tuhan mengenalkan iradah-Nya kepada manusia. Pada kalimat pertama sebagai Maha Pengasuh, Tuhan selalu menunjukkan rahmah-Nya yang tidak terbatas. Meskipun, di sisi lain para manusia masih ada saja yang memiliki konsep sendiri tentang kenikmatan sehingga lupa akan daya Rabbun Naas. Maka dari itu, manusia yang lupa seolah diberikan peringatan itu lho ada Malikaa Naas atau rajanya manusia. Apabila masih ngeyel, terkadang Tuhan menunjukkan kekuatannya dan menegaskan bahwa hanya Dia, Ilaahi Naas, sembahan para manusia.
Kiai Kanjeng pun diberi mandat oleh Mbah Nun untuk bersama-sama mengajak para jamaah belajar dzikir tenang 3 kalimat pengakuan tersebut. Ya, sebuah tantangan baru karena harus siap dengan segala request pada saat itu juga. Namun, hal tersebut sudah menjadi kebiasaan bagi Kiai Kanjeng. Tanpa butuh waktu lama dan dipandu oleh Mbah Nun langsung serta beberapa wakil jamaah yang naik ke panggung untuk men-translate dzikir tersebut menjadi sebuah gerakan. Dan jadilah, 3 kelompok untuk masing-masing mendapat bagian Laa Rabba Ilallah, Laa Malika Ilallah, dan Laa Ilaha Ilallah.
Menurut saya pribadi sangat disayangkan bagi para jamaah yang baru sekali mengikuti sinau bareng, tidak terkontaminasi oleh kegembiraan "burung saya bundar" atau guyonan lain ala Kiai Kanjeng pada kesempatan kali ini. Karena tidak ada rangsangan untuk belajar lebih mendalam mengenai perbedaan. Dan mungkin bisa dikatakan beruntung juga, pada malam ini pembelajarannya lebih bersifat prasmanan dan siap disantap. Tanpa perlu berfikir panjang, akan memakan dengan sendok, garpu, ataupun tangan. Bagi yang pertama kali ini ikut sinau bareng jangan kaget kalau kedepannya mungkin jenakanya agak menjurus. Disertai dengan riang tawa se-lapangan jamaah yang hadir.
Hal semacam itu merupakan salah satu bentuk tahadduts bin ni'mah. Baik dan buruk tinggal masalah kedekatan ataupun sikap kerendah-hatian untuk saling belajar. Kedekatan tersebut sampai menghilangkan genitas sebagai pria atau wanita dalam acara sinau bareng. Semuanya membaur jadi satu, sekalipun panitia pada awal acara menghendaki pemisahan antara pria dan wanita. Tapi, disini kita saling menjaga, meski jomblowan/wati pasti bertebaran di setiap sudut sinau bareng. Karena sudah menjadi suatu yang pasti ketika Mbah Nun mendoakan jamaah untuk segera bertemu dengan jodohnya, suara amiin terdengar paling lantang diantara amin-amin yang lain.
Kemudian Mbah Nun menjelaskan tentang betapa pentingnya sebuah peradaban. Adab. Sudah pasti jika negara akan membutuhkan rakyat, sedangkan rakyat hanya akan terus ada selama di dalam rakyat itu terjadi sebuah pernikahan. "Jadi, penting mana antara negara atau menikah? Kalau begitu, orang yang paling tidak bermanfaat adalah orang yang belum menikah." Ungkap Mbah Nun disambut kegembiraan para jamaahnya. Seolah memang paling memahami cucu-cucunya yang kebanyakan butuh motivasi.
Rubbubiyah, mulkiyah, ataupun uluhiyah. Makna mana yang akan dijadi pedoman kita tergantung tentang bagaimana cara mentransformasi rasa kasih sayang Allah. Mbah Nun sedikit memantik dengan lontaran sebuah pertanyaan, "orang lebih mengutamakan kekuasaan apa kasih sayangnya?". Pertanyaan tersebut sedikit memberikan arah tentang sebegitu pentingnya untuk menyadari adanya Rabb. Di dalam rubbubiyah itu yang paling utama adalah mewakili sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Menegaskan bahwa Tuhan begitu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bukankah di setiap awal doa juga selalu terucap bismillahirrahmanirrahim?
Jika kita sanggup belajar cinta kepada Yang Maha, kita akan belajar, daripada membalas alangkah baiknya untuk mengambil sikap memaafkan. Mungkin ini hanya sepenggal pembelajaran dalam perjalanan dalam sinau bareng. Karena begitu banyak rona dalam perjalanan ini, langsung atau tidak langsung. Dekat atau jauh. Semua akan nampak sesuai dengan cinta dan fadhillah mereka yang diperjalankan. Silahkan mereka mencari kekuasaan, sedang kami atau setidaknya aku akan lebih memilih 'tuk mengais kasih sayang yang terlalu dibiarkan berserakan di bentangan semesta yang tak berbatas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H