Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beda Ustadz Beda Ulama: yang Sering Salah Memahami Nilai Agama

21 Agustus 2019   16:29 Diperbarui: 21 Agustus 2019   16:41 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap ulama pasti seorang ustadz, namun belum tentu seorang ustadz adalah seorang ulama. Tapi apa yang ditangkap oleh mayoritas masyarakat adalah ketika mereka mesti belajar agama kepada seorang ustadz/ustadzah. Setiap apapun perkataan ustadz seringkali dianggap kebenaran bagi para murid ataupun jamaahnya tanpa pernah ada sesuatu keinginan untuk menggali lebih dalam meskipun mesti berbenturan dengan batin mereka.

Kita seringkali terjebak pada label identitas maupun gelar yang menjadi tolak ukur kedalaman ilmu yang dimiliki. Lihatlah ustadz itu, semakin dalam ilmunya justru semakin mudah mengkafir-kafirkan yang bukan segolongan dengannya. Merendahkan yang lainnya dengan menyebut-nyebut setan. 

Di saat perkataan itu keluar justru ialah setan, kenapa? Karena dia yang paling paham dengan yang golongannya. Jubah, surban, atau kopiah tak lebih hanya sebuah hiasan dhohir. Dimana dhohir seseorang yang dapat kita nilai adalah akhlaknya yang merupakan perwujudan batinnya. Tapi itu tak ayal hanya sebuah ahwal, yang seringkali tak jauh beda ketika sedang dalam kondisi beriman. Fluktuatif dan dinamis.

Seorang ustadz pun seharusnya memberikan contoh tauladan yang baik bagi para jamaahnya, meskipun dengan alasan internal dengan pengajian yang tertutup, bukankah hal tersebut sama halnya dengan doktrinisasi ketersesatan terhadap yang sedang dahaga akan ilmu? Akibatnya akan sangat berantai terlebih bagi mereka yang sudah terlanjur taqlid terhadap ustadz tersebut. Yang terkadang keblabasan dengan kebenaran yang sedang dipegangnya.

Bahkan lafadz lakum dinnukum waliyadin yang digunakan sebagai sesuatu pembelaan bagi golongannya dirasa kurang begitu tepat. Tidak ada rasa bersalah sama sekali karena telah menyakiti penganut agama lain di saat mereka sama-sama seorang manusia yang sedang mengalami proses mencari kebenarannya. "Bagimu agamamu, bagiku agamaku" semacam pembelaan yang absurd, terlebih dengan embel-embel kesatuan dan persatuan umat. Terkecuali, kalimat tersebut disampaikan dengan rasa menghormati dan saling menghargi tidak hanya sebagai suatu bangsa, melainkan sesama manusia.

Jangan dikira, kalau kita Islam lantas kita paling benar dengan otoritas hak memperjualbelikan surga. Justru dengan kitab Al-Qur'an yang diwahyukan, bagaimana kamu dapat mengelola diri dan memanejemen rasa agar tercipta akhlak yang baik tanpa memperdulikan simbol, lambang, atau identitas. Sekalipun itu sudah lama berlalu, tapi ustadz itu pasti juga ingat dengan pemaknaannya tentang rahmatan lil 'alamin yang cukup kontroversial dan menggemparkan pada waktu itu juga (dahulu).

Ustadz, kiai, gubernur bahkan presiden itu tak lebih dari sebuah identitas yang diciptakan manusia agar kita memahami peranan yang sedang diembannya di batas-batas teritorial yang dibuat oleh manusia-manusia itu sendiri dengan segala akalnya. 

Tapi apakah benar hal tersebut untuk menunjukkan tanggung jawab atau hanya sekedar rasa hormat? Mereka mungkin tidak sadar kalau telah terhasud oleh kebenaran diri sendiri. Jangan sampai segala identitas yang tersemat menjadikan diri lalai dan selalu berhati-hati terhadap apa yang terucap. Sekalipun itu mengutip ayat yang telah difirmankan dan dikitabkan.

Adakah ustadz disamakan dengan ulama? Disaat saya berani yakin bahwa pemahaman mayoritas masyarakat bahwa yang dikatakan seorang ulama adalah mereka yang peham mengenai agama. lantas paham mengenai agama itu yang seperti apa? Hafal Al-Qur'an dan hadits, telah selesai pembelajaran kitab-kitab fiqih? 

Padahal ulama adalah innama yakhsyallaha min ibadihil-'ulamaa'. Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah yang takut kepadaNya, hanyalah para ulama. Jadi, ustadz belum tentu seorang ulama, tapi seorang ulama sangat pantas untuk dijadikan ustdz. Asalkan kita tawadhu' terhadap ilmu. Karena seorang ulama bisa jadi seorang yang berprofesi apa saja bahkan yang seringkali kita rendahkan.

Sudahkah Afalaa Ta'qilun?
Lantas dari pokok permasalahan yang menjadi penyebab utama yaitu salib. Sekarang, sebaiknya kita tidak belajar menyalahkan atau membela diri. Setidaknya mari kita mencari bersama yang lebih presisi jika mengatasnamakan kesatuan umat dan bukan demi kepentingan golongan tertentu. Dengan menggunakan kacawata "bagiku agamaku".

Memaknai salib seperti apa yang telah dikatakan oleh ustadz meskipun diungkapkan dan ditujukan kepada jamaahnya yang sudah pasti Islam yang apabila didengar oleh yang bukan jamaahnya apakah tetap enak didengar atau justru menyulut api dan menyakiti hatinya. Sekarang apabila posisi itu di balik, kira-kira berita apa yang bakal mencuat? Sudah pasti penistaan agama. Karena "mereka" mayoritas dan sesuka hati mempermainkan kebenaran demi sebuah kepentingan.

Daripada memaknai seperti apa yang ustadz itu ungkapkan, bukankah lebih baik mencari ilmu yang tersirat dari salib itu sendiri. Saya pernah mendapatkan pemaknaan salib dari seseorang yang saya anggap ulama. Dia tak lantas men-setan-kan lambang tersebut. Justru beliau memaknai salib sebagai suatu perlambang keseimbangan moral. Sisi yang vertikal dimaknai sebagai spiritualitas, sedang sisi horisontal dimaknai sebagai intelektualitas dan mentalitas.

Untuk dapat berdiri dengan tegak, salib itu harus memiliki keseimbangan yang pas hingga beliau maknai sebagai keseimbangan moral. Spiritualitas apabila tidak diimbangi dengan intelektualitas dan spiritualitas. Maka output moralnya pasti kurang tepat juga. Begitupan kalau hanya intelektualitasnya saja ataupun hanya mentalitasnya, tanpa diimbangi dengan sisi yang lain. Maka, moral yang terbentuk pun akan sedemikian rupa.

Dari dua contoh diatas, kita bisa belajar tentang cara memaknai sesuatu. Mana yang lebih tepat untuk diajarkan kepada khalayak ramai apalagi mengatasnamakan umat. Justru yang dihina malah lebih memilih memaafkan karena hanya kaum minoritas. Tapi, justru ternyata mereka lebih dapat mengambil nilai akhlak sebagai penjaga perdamaian. Sudahkah kita berfikir?

Jika mereka mencintai Tuhan, sudah pasti mereka akan menikmati perbedaan yang sengaja diciptakanNya untuk proses pembelajaran. Tapi, sekali lagi, semua ada dalam porsi kebenarannya masing-masing jika menyangkut agama dan keyakinan. Hanya saja, kebiasaan kita adalah kemalasan berfikir dan mencari kedaulatan untuk berfikir. 

Lalu, apakah penistaan agama hanya berlaku bagi yang menistakan agama mayoritas? Atau hanya berlaku jika ada kepentingan-kepentingan tertentu? Atau karena mayoritas yang memegang peranan hukum adalah orang-orang yang tidak tahu hukum? 

Lantas di mana keadilan di negara yang katanya negara hukum? Tapi, kan . . . . Tak mungkin ada pembelajaran kalau tidak ada sebuah permasalahan atau konflik. Semoga keselamatan tetap memayungi kita semua dari murkaNya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun