Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perjalanan Menuju "Kekerdilan"

14 Agustus 2019   16:30 Diperbarui: 14 Agustus 2019   16:36 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Twitter @caknundotcom

Pak Totok mulai menjabarkan tentang bagaimana ruang publik adalah rakyat tapi bukan dalam tatanan kenegaraan. Dimana ruang publik itu secara harfiah ilmunya bersifat kebatinan/rohaniah. Sedangkan di maiyah sendiri menurut Pak Totok merupakan ruang belajar karena prinsip yang selalu menjadi dasar di maiyah adalah sinau bareng. Di maiyah, tidak ada yang merasa dirinya tepat untuk memposisikan diri sebagai kyai.

Sedang di ruang publik biasanya manusia masih merasa dirinya dekat dengan Tuhan sehingga merasa berhak mengadili orang lain. Kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Karena menurut Pak Totok, pada zaman sekarang, sejak dari PAUD pun terjadi kesalahan berfikir. 

Anak-anak di didik untuk berfikir materialis, dengan melihat kesuksesan misalnya dengan masa depan yang cerah karena gajinya banyak. Bukannya melatih kesiapan berpikir untuk menghadapi segala kemungkinan. 

Di tingkat remaja, k berpendapat bahwa kesalahan berfikir terjadi dalam koridor agama, kesalahan berfikir tentang Allah. Pak Totok menyampaikan bahwa kita memiliki kesadaran untuk melawan proses penyempitan tersebut, sebagaimana pendidikan yang telah disempitkan menjadi sekolah, atau ilmu yang juga disempitkan hanya berasal dari sebuah buku. 

"Ilmu itu potensi" Mas Sabrang menambahkan, kita mesti belajarnya sudut pandang. Dimana potensi tersebut nantinya jika diperangkati sudut pandang yang baik hasilnya akan pada aktualisai sikap yang presisi.

Hidup di Tengah Sakit Logika

Simbah pun berpesan kalau bisa jamaah maiyah jangan mudah menggunakan kata-kata musyrik, kafir, atau sesat dalam bersosialisasi. Malah kalau bisa jangan sampai ketahuan kalau anda seorang muslim. Tentu pesan simbah ini merupakan pintu agar kita mencari makna mengapa simbah menyatakan itu. semua orang saling berebut puncak kebenaran. 

Sedang orang maiyah selalu dalam usaha untuk mencari dan mencari, faidza faraghta fanshob. Masalah tercapai atau tidak tujuan itu, biarlah itu menjadi urusan Allah. Semoga hal ini bisa menjadi sedikit contekan blueprint peradaban masa depan.

Kembali lagi ke ilmu, Simbah juga menyatakan bahwa apakah ada ilmu pengetahuan yang ikut melibatkan Tuhan? Berarti secara akademis semua ilmu tersebut penganut atheis dong? "Pelanggaran itu!" tegas Simbah sembari diiringi tawa para jamaah. Seperti orang-orang ahli surga, Simbah juga bercanda "Nek wes mesti mlebu surgo mbok ndang mati wae. Urip kok mung nesa-nesu." 

Jamaah pun seolah bertambah gembira dengan pernyataan Simbah yang terkesan ngawur, tapi memiliki kandungan khasanah yang luar biasa. Jangan mengambil keputusan yang sekali-kali tidak melibatkan Tuhan.

Malam ini walau Kiai Kanjeng jarang tampil seperti biasa, bahkan dari awal acara sampai lebih tengah malam, belum nampak sebuah nomor pun dendang sholawatan. Akan tetapi, proses sinau nampak berjalan lancar walau jarang ada jeda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun