Simbah juga menegaskan bahwa segalanya adalah perbuatan Allah dalam maiyah, sebagai contoh ketika ada ibu-ibu meminta do'a kepada Simbah supaya anaknya pintar, tapi dalam keadaan ini Simbah malah bilang kepada ibu itu jika justru orang-orang pintar lah yang akhirnya merusak dunia.
Malam itu ada yang spesial dari Kiai Kanjeng, Nova anak Pak Ari Blothong dijajal kemahirannya untuk mengisi Pak Is yang sudah lama kosong. Akhirnya 'Gelandangan' menjadi nomor lagu bagi Mas Nova untuk ajang memainkan serulingnya bersama Kiai Kanjeng.Â
Tapi, lagu bergenre dangdut ini terasa kurang mesra jika yang menyanyikannya bukan Mas Imam yang kebetulan tidak bisa menghadiri acara Mocopat Syafaat malam itu karena sedang menunggu kelahiran anak pertamanya. Tapi hal tersebut tentu tidak mengurangi khasanah kemesraan yang terjalin antara Kiai Kanjeng dan jamaah maiyah.
Simbah kembali melanjutkan membukakan pintu-pintu ilmu yang harus bisa kita cari maknanya. Salah satunya tentang kepintaran yang menurut Simbah bukanlah yang utama, karena yang utama adalah kebenaran dan kebijaksanaan.Â
Jangan jadi orang yang menganiaya dengan merasa pintar. Lantas mudah terserang penyakit mudah tersinggung. Seperti Allah yang sering menyindir dengan kata "barangsiapa"-Nya di dalam ayat-ayat suci untuk menegaskan kelucuan-kelucuan yang terjadi di Indonesia khusunya. Hal ini diejawantahkan oleh puisi Mbah Mus yang berjudul "Kebun Binatang Kosong" yang pada kesempatan ini tampil di awal acara disaat biasanya harus menanti hingga lewat tengah malam untuk tampil menghibur para jamaah.Â
Mbah Mus mengibaratkan kekosongan kebun binatang itu dikarenakan binatang-binatangnya telah menjelma menjadi seperti manusia. Dengan request nada suluk, satu kepastian puisi Mbah Mus pun hadir, yaitu mengundang tawa para jamaah.
Hal tersebut juga terlihat dalam peristiwa mujassimah yang sering diungkapkan oleh ustadz-ustadz terkenal. Menganggap Allah mempunyai anggota tubuh. Ya sebenarnya gak ada salahnya juga jika mempunyai sudut pandang seperti itu dan menambah keimanannya kepada Allah.Â
Memang sekarang lagi nge-trend juga apa-apa dibikin logonya, dibranding, dilembagakan. Agar apa? Semoga saja mujassimah itu tidak sama dengan tujuan peristiwa simbolik-simbolik yang lain. Karena Allah tidak bisa diibaratkan dengan apapun, diluar jangkauan akal kita sebagai manusia.
Di sela Mas Helmy akan membuka tentang bahasan selanjutnya, ada seorang Bapak yang sudah sepuh yang ingin mengungkapkan hasil karyanya. Bapak Amil, seorang Guru SD di Candiroto, Temanggung. Pak Amil menjabarkan segala kepanjangan atau makna tempat dimana ia tinggal, dimulai dari Candiroto sampai Indonesia.Â
Dengan sedikit terengah-engah dalam menyampaikan, tapi kebaikan terlihat dalam aura Pak Amil. Bagaimana belia jauh-jauh dari Temanggung datang hanya dengan seorang teman dan tongkatnya yang membantu penglihatan beliau. Hanya maiyah yang mungkin memberikan kesempatan tamu-tamu spesial seperti beliau tanpa persiapan.
Kemudian Mas Helmy menyampaikan poin tentang 3 lapisan ilmu di maiyah, pada skala individu/publik, pada skala organisasi/komunitas, dan yang terakhir pada skala peradaban/cara berfikir. Di sesi publik Mas Helmy memberikan kepada pakarnya, Pak Totok atau yang sering disapa Kiai Tohar.Â