Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ikutilah Mereka yang Tak Pernah Meminta Imbalan Apapun Darimu

9 Agustus 2019   16:06 Diperbarui: 9 Agustus 2019   17:36 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertunjukan kesenian dari masyarakat sekitar sudah mulai dipentaskan di atas panggung. Panitia yang mayoritas pemuda-pemudi Tlogo, Prambanan ini kompak memakai seragam tersebar di segala penjuru demi kelancaran acara sinau bareng kali ini. Lapangan Kridobuwono nampak sudah cukup padat di depan panggung menyaksikan berbagai pentas kesenian sembari menunggu Cak Nun dan Kiai Kanjeng hadir.

Setahun yang lalu, acara yang sama juga diadakan di tempat ini. Sepertinya masyarakat sekitar suka dengan hagemoni suasana yang diciptakan sinau bareng. Meskipun di setiap rasa 'suka' itu sendiri pasti mengandung 'ketidaksukaan' yang bersembunyi di bilik-bilik masyarakat itu sendiri. Tapi itu bukan menjadi sebuah persoalan, toh pada akhirnya masing-masing dari mereka mampu meraup keuntungannya. Yaitu sama-sama mendapatkan kegembiraan.

Sama pula ketika kita membahas gondelan kaos e Kanjeng Nabi. Siapa saja mampu untuk meraih kaosnya Kanjeng Nabi. Permasalahannya, apakah Kanjeng Nabi ridho dengan tampang diri kita yang masih suka bergelut dengan ketidakjelasan? Dengan diri kita yang sering mengucap rindu hanya sebatas kebutuhan . Yang mencari keamanan atau keselamatan diri dengan mengatasnamakan cinta. Untung beliau memiliki akhlakul karimah, yang tidak tegaan terhadap ummatnya yang tak tahu diri.

"Sing paling njogo awakmu sopo?" pertanyaan awal Mbah Nun kepada jamaah malm itu. Beliau pun menjelaskan jika sudah tidak ada siapapun yang bisa melawan. Sebuah kemungkinan keadaan di masa mendatang yang memiliki porsi masalah lebih berat daripada apa yang dialami sekarang. Setidaknya, konsep sinau bareng ini pun menjadi tempat mencari jalan keselamatan bersama agar tetap istiqomah di pandangan dan selalu dalam lindungan Gusti Allah.

Diantaranya yang perlu dilakukan adalah rekonstruksi dan reformasi. Untuk melakukan hal tersebut kita mesti melakukan atau membenahi dengan memperhitungkan skala jangkauan kemampuan kita untuk melakukan rekonstruksi dan reformasi. 

Mana yang pas antara rekonstruksi atau membangun kembali, atau pondasinya sudah bagus sehingga hanya memerlukan reformasi atau mencari kepingan barang yang hilang atau tidak sesuai posisinya. Oleh karena itu, kita mesti banyak melakukan muhasabah terhadap diri sendiri agar tidak lalai untuk merekonstruksi maupun mereformasi diri sehari-hari. Alhasil, kita akan mendapatkan kebiasaan niteni. Setidaknya terhadap diri sendiri, sebelum melakukan perubahan ke jangkauan yang lebih luas.

"Koe pingin opo ning Gusti Allah?" seru Mbah Nun sebelum melantunkan doa. Mbah Nun menjelaskan apabila kita ingin mendapatkan ridho dari Allah, syarat utamanya adalah kita sendiri mesti ridho terhadap segala ketentuan-Nya. Rodhiyatan mardhiyyah. Ridho dan diridhoi. Lagu 'Shohibu Baiti' pun dilantunkan, dengan massa yang begitu banyak terasa sangat khusyuk dan mencerahkan. Semoga langit tidak tega melihat keridhoan para jamaah di setiap doa yang dipanjatkan dalam batinnya.

Manusia Tipe 'Siti Maryam'

Sinau bareng di Tlogo, Prambanan ini merupakan acara yang ke-4084. Acara ini pun dihadiri oleh beberapa tokoh masyarakat, bahkan Bapak Sutrisna yang sedang didaulah menjadi Rektor UNY pun turu menghadiri sinau bareng pada kesempatan ini. Beliau sedikit menyampaikan mengenai Long Life Education. Bahwasanya proses belajar itu belajar seumur hidup dan dalam konsep sinau bareng semua golongan belajar bersama dalam satu forum.

Sumber: Akun Twiter Mocopat Syafaat
Sumber: Akun Twiter Mocopat Syafaat

Kita semestinya sangat mengenal Siti Maryam. "Apakah Siti Maryam itu bekerja?" tanya Mbah Nun kepada jamaah. Lantas, siapa yang memberi Siti Maryam makan atau nafkah? Sebuah pertanyaan seperti ini yang masih belum banyak yang menyadari disaat mereka membaca ayat hanya secara formalitas, jarang ditadaburri dalam memaknainya. Dari pertanyaan tersebut, Mbah Nun menjelaskan jika tipikal manusia setidaknya ada 3 kriteria. Pertama, tipe manusia daulah (bisa presiden, bisa danramil/kapolres), yaitu mereka yang mendapatkan gaji dari rakyat; kedua, tipe wong pasar, yaitu mereka yang ahli dalam hal perdagangan atau mencari keuntungan; ketiga, manusia bertipe Siti Maryam, tanpa pekerjaan yang jelas tetapi sangat memegang nilai Allah.

Mbah Nun memberikan contoh, ketika Siti Maryam lapar, maka makanan itu akan datang dengan sendirinya tentu dengan jalan yang telah direncanakanNya. Ketika nilai itu dipegang sangat kuat, mungkin kita merasakan jika segala laku merupakan sebuah pekerjaan, yang Allah pasti memberikan rizki atas pekerjaan tersebut. Di samping itu, tipe Siti Maryam tidak pandai menjadi seorang pedagang. Jadi, tipe ini hanya menganggap hidup itu tujuannya sederhana, "jangan sampai tidak lulus ketika dipanggil untuk kembali dan asalkan apa pun yang dilakukannya tidak menyebabkan celaka di depan Allah kelak."

Terkadang kita tidak menyadari jika sebuah kata yang sederhana itu akan sangat mempengaruhi makna. Bukankah banyak Tuhan menekankan banyak perintah untuk menegaskan tentang berfikir? Mungkin kebenaran itu hanya berlaku pada masa sekarang, namun bisa jadi kebenaran itu akan bertolak belakang di masa mendatang dan menjadi sebuah kesalahan. Ilmu itu tidak bisa dinilai statis, semuanya dinamis. Kita hanya bisa berproses menuju kebenaran karena kebenaran yang sejati hanya milikNya.

Ilmu itu pun tidak hanya terbagi dalam kognitif atau akademis saja, pendidikan mental pun sangat perlu. Apakah ada satu urusan di dunia ini yang tidak berhubungan dengan akhirat? Meskipun itu seolah-olah urusan dunia, namun alangkah lebih baik jika diakhiratkan. Bukankah kita mesti memperhatikan nasib selama di dunia? Agar kita tidak mudah terhadap suatu pencapaian keselamatan. Dalam kesempatan workshop, para jamaah maiyah pun diajak untuk terlibat agar yang lain lebih banyak memiliki sudut pandang dan keluasan berfikir.

"Anak-anak maiyah ini merupakan salah satu kelompok yang tidak akan memusuhi kelompok lain." Ujar Mbah Nun. Indonesia ini memiliki keunggulan luar biasa yang tidak semua orang dapat memahaminya. Jikalau ada kriteria menang-kalah, maju-berkembang, sehat-tidak sehat, itu dikarenakan kita terlalu percara pada klarifikasi kriteria dimana tolak ukurnya bukan dari sudut pandang kita sendiri, melainkan dari luar.

Maiyah ini agak jangka menengah dan jangka panjang. Kalau menyangkut urusan bangsa berarti agak panjang menurut Mbah Nun. "Karena ini (maiyah) yang buat Allah" tegas Mbah Nun. "Kamu (anak maiyah) tidak usah nagih siapa-siapa." Lanjut beliau. Ittabi'u man la yas'alukum ajron wahum muhtadun. Ikutilah mereka yang tidak meminta imbalan/penghargaan (karena hanya berharap kepada Allah). Merekalah yang mendapat petunjuk dan hidayah dari Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun