Jujur saja, tidak bisa seutuhnya sebuah pemikiran itu akan selalu subur. Bahkan sesekali, pikiran itu mesti merasakan layu agar lebih matang dan objektif dalam melakukan sesuatu. Tidak selamanya aku, kamu, bahkan kita benar. Benar itu sendiri merupakan alat ketika kita memasuki ruang kesejatian. Al-Haqqu minallah.
Tapi lihat bagaimana pegangan akan kebenaran itu mereka jadikan sebuah alat untuk membangun kesementaraan. Bahkan, mereka ikut sertakan emosi untuk melakukan invasi kebenaran terhadap sebuah ideologi pemikiran. Dan hal-hal seperti itu sangat gamblang bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.Â
Mereka yang merasa punya 'kuasa' untuk mampu melakukannya. Merasa lebih tinggi daripada yang lain. Hingga di satu titik membutuhkan gelora sebuah emosi, karena merasa telah melakukan kebenaran meskipun tanpa disadari mungkin saja untuk untuk menutupi kesalahan-kesalahannya. Disaat emosi itu sendiri telah membutakan hatinya.
Apakah hal tersebut merupakan sebuah masalah? Atau apa ada 'masalah'? Sebenarnya, apa yang menyebabkan sebuah masalah?
Masalah selalu timbul pasti didasari atas ketidakcocokan sebuah pandangan antara yang satu dengan yang lain tentang apa yang dianggpnya tepat. Tapi, apakah 'tepat' itu sendiri merupakan sebuah kebenaran meskipun telah disepakati oleh orang banyak? Kalau dalam terminologi jawa, sesuatu dikatakan tepat jika sesuai empan papan atau waktu dan tempat. Jikalau waktu dan tempat merupakan faktor yang penting dalam menentukan suatu kebenaran, lalu apakah waktu dan tempat selalu sama?
Apakah waktu dan tempat? Benda mati-kah, atau masuk dalam golongan 'segala sesuatu itu mempunyai ruh'-kah? Dimana ruang dan waktu sangat-sangat tidak berbatas. Tapi kenapa kita mesti merasa benar dan merasa berhak melimpahkan emosi/marah kepada suatu kondisi yang membagunkan amarah tersebut, kenapa?
Jika membicarakan tentang ilmu modern, segala pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan mencari sumber buku rujukan menurut ini, menurut itu, atau menurut siapapun itu. Adakah penulis-penulis itu meniadakan hak atas ide-idenya sendiri?
"Kalian kan hanya mengerti sejarah dari buku-buku. Hanya sebatas jarene iki, jarene iku (katanya ini, katanya itu). lhah, saya itu tidak hanya mengerti. Namun, saya memahami karena saya mengalaminya sendiri." Kata seorang Kakek sepuh yang menjadi kerabat dekat dari Almarhum tempat saya singgah.
Literasi sangat mungkin untuk direkayasa. Sedemikian rupa, sehingga membentuk kultur dimana kita semakin kehilangan kendali atas diri kita sendiri. Untuk bersikap legowo, empati, ikhtiar, ikhlas dan segala sesuatu yang lebih suka semeleh daripada dumeh.
Memangnya dengan menuntut ilmu setinggi-tingginya akan membuatmu semakin merindukan Tuhanmu? Atau justru semakin menjauhkanmu? Coba perhatikan dengan seksama. Semakin banyak literasi yang kamu lahap semakin menambah nafsu makan akan ilmu itu, atau kamu akan menanti waktu yang tepat dipertemukan dengan ilmu? Semakin menambah rasa cintamu, atau sebaliknya? Bukankah kita mesti mengetahui terlebih dahulu daulah akan sebuah hakikat atas ilmu itu? Kalau bingung, bukankah kita sudah diberi sebuah alternatif 'mintalah fatwa pada hatimu'?
"Tuhan tidak begitu sakit hati terhadap orang-orang kafir. Namun, Tuhan sakit hati atas orang-orang yang berpura-pura menyembahnya."kata seorang Begawan. Yang sembahyang tapi hanya sebatas formalitas. Yang berpuasa tapi tidak kuat dengan rasa menahan itu sendiri. Yang mendatangi Masjidin Haram, tetapi tujuan paling utama adalah jangan lupa untuk berswadaya foto. Mana yang lebih penting, prasangka mereka atau prasangka Tuhanmu?
Hanya saja kita tidak mau lebih mengenal siapa itu marah? Siapa itu sedih? Siapa itu senang? Siapa itu si pintar? Atau siapa itu malas? Siapa itu rindu? Siapa itu benci? Siapa itu iri? Siapa itu pamrih? Dan masih banyak lagi rasa-rasa yang tidak bisa kita kenal satu persatu. Dan diri kita cenderung untuk lebih dekat atau bersahabat hanya dengan kegembiraan, keamanan, pujian. Ah, dasar! Apapun itu, kita hanya sering kehilangan cinta.
Namun, pada dasarnya apa ada masalah itu? atau sama sekali sebenarnya tidak ada masalah? Dan hanya dirimu saja yang bermasalah karena belum bisa merdeka atas segala belenggu-belenggu yang saling bertentangan? Dengan kata lain tidak bisa menerjemahkan suatu keadaan yang telah terjadi menjadi perustiwa cintaNya atau sesuatu yang telah ditetapkan.Â
Bukannya segala seuatu yang terjadi mesti melewati legalitas ijinNya? Ayat-ayat itu pun saling bertentangan, tergantung tiap individu akan menggunakan sebagai penawar atau racun. Jika sekalipun itu kesulitan, bukankah disaat yang sama Tuhan memberikan kemudahan?
Dan dari mana kita bisa berpikir dan mengartikan jika suatu keadaan itu merupakan sebuah masalah? Kalau itu sudah teratasi atau pasti teratasi, terus kenapa? Emas tak akan bernilai apapun tanpa cahaya. Dan masih ada cahaya di atas cahaya. Belajarlah. Mengembaralah. Bergembiralah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H