Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rakyat yang Prihatin, namun Tetap Bahagia!

16 Juli 2019   16:09 Diperbarui: 16 Juli 2019   16:13 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan yang katanya negara hukum ini pun sangat tidak berpihak kepada rakyat-rakyat kecil karena mudah saja dikendarai bagi mereka yang memiliki uang. Bahkan idealisme yang sangat sensitif tentang masalah agama pun sudah dicoba demi merenggangkan ikatan persatuan rakyat ini. Tapi sekali lagi, mereka tumbuh dengan sangat sederhana.Kebiasaan berbagi dengan lingkungan sekitar. Budaya saling memaafkan meski tak sedarah. Tenggang rasa dan toleransi yang telah menjadi inti terhadap perbedaan menjadikan mereka selalu bisa menemukan cara untuk bahagia.

Bisa jadi, karena kebiasaan para nenek moyang kita yang suka bertapa masih mendarah daging di setiap darah para turunannya. Tapi pada zaman sekarang, untuk bertapa tidak perlu ke gua untuk mencari ketenangan. Karena kita tengah berada di tengah keriuhan yang entah menuju ke mana. 

Mereka terbiasa dengan melawan arus atau dengan topo rame (menahan diri dari keramaian)-nya mungkin cukup. Lucunya mereka bukannya sengaja melakukan hal itu, namun lebih ke situasinya yang telah di setting terpojok oleh Sang Pengasih. Akhirnya batas-batas itu mau tak mau mesti mereka tabrak. Toh, tak mungkin juga Tuhan memberikan ujian diluar kapasitas kita.

Tapi, berawal dari hal itu. Kini mereka sanggup bertahan di tiap lapis keadaan yang mungkin akan memalingkan dirinya. Hanya saja, ini seperti siklus di lingkungan antar tetangga setelah mengamati beberapa generasi di lingkungan terdekat. Barang siapa umuk (sombong), sudah pasti akan ambruk (jatuh) pada waktunya. Tapi lambat laun, mereka bangun dengan dasar keprihatinannya. Salah satu wujud nyatanya adalah, mereka membiarkan orang lain mencari kehidupan di ladang mereka. Meskipun mereka sendiri hidup dengan apa adanya.

Tanpa adanya bashirah untuk menguak potensi ilmu mengenal diri, tak mungkin mereka atau kita mampu bertahan seperti ini. Kecuali sudah terpecah belah. Kebiasaan budaya ngaji bareng, sholawatan, halal bi halal, bahkan yasin dan tahlil menjadi senjata yang sangat ampuh untuk merdeka, setidaknya atas dirinya sendiri. 

"Jadi, mungkin potensi negeri ini adalah keprihatinan. Makanya, kalaupun terjadi krisis moneter global. Mereka akan belajar cara berprihatin karena kita tetap baik-baik saja." Dan mau tak mau kita mesti memngamalkannya karena terpojok dan sengaja dipojokkan olehNya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun