Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia Ketuhanan

12 Juli 2019   16:14 Diperbarui: 12 Juli 2019   16:19 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.gettyimages.com 

Hati-hati sekarang banyak manusia ketuhanan. Segala perkataannya seakan bisa menentukan mana dosa dan azab yang jelas-jelas hal tersebut diluar kuasanya.

Saya hanya tidak pernah mampu mengikuti jalan fikirannya. Tak peduli gelar Gus atau Habib yang tersemat di depan namanya. Seorang pemimpin yang menggiring rakyatnya menjadi tuhan-tuhan kecil yang bertebaran di segala bentuk laku sosial.

Jadi tidak usah kaget banyak bibit-bibit manusia-tuhan yang bertebaran. Mereka bukan lagi manusia, tapi mereka Tuhan! Yang berhak menghukum, menimpakan azab, bahkan menghilangkan nyawa seseorang.

Semoga saya hanya salah mendengar. Saya tau niat manusia-tuhan itu selalu baik, hanya saja terkadang cara penyampaian atau komunikasinya yang kurang pas. Inilah pentingnya komunikasi secara langsung, tapi yang ada sekarang mereka terlalu sering komunikasi tidak langsung. Berguru pun online.

Jadi para manusia-tuhan ini sangat berseberangan dengan Ar-Rahman Ar-Rahmin. Mereka maha pemarah. Mereka pun melegitimasi diri sebagai yang maha benar sendiri ataupun golongannya. Meskipun rasa sayang bisa terwujud dalam kemarahan. Biarlah!

Hanya saja para manusia itu lupa, Tuhan tidaklah serakah seperti mereka yang hanya berburu keuntungan meskipun harus terbungkus dengan ayat-ayat kebenaran. Apakah ayat-ayat itu pasti benar, disaat Tuhan pun Maha Membolak-balikkan.

'Mata dibalas dengan mata' . Lalu bagaimana dengan dosa membunuh? Sedang dalam bagian lain terdapat kata 'jangan membunuh'. Atau bahkan yang lebih ekstrim, bagaimana Musa berguru pada Nabi Khidir yang dengan sengaja membunuh orang lain di depan Hamba terpilih sekelas Musa. Dan masih banyak lagi contoh-contoh pertintah yang saling bertolak belakang satu sama lain. Memang itu semua benar, hanya saja para manusia-tuhan terlalu memaksakan demi sebuah kepentingan produk yang ber-merk pahala.

Memang jika dirimu berhiaskan merk label pahala lantas otomatis masuk surga? Sedang hanya Rahmat Yang Sejati-lah yang akan mengantarkanmu kesana.

Mengapa mereka tidak bisa menikmati pertunjukan ini? Bukankah ini hanya sebuah permainan yang penuh sendau gurau belaka? Mengapa engkau terlalu serius? Lihatlah dirimu, yang masih penuh dengan lumuran ilmu yang kau sangka dapat menembus langit yang berlapis-lapis.

Ketika kamu berjalan dengan membusungkan dada yang penuh muatan kebenaran. Disaat itu pula aku hanya bisa terus dan menerus merendah karena ketidaktahuanku.

Memang saya lemah karena sudah tidak lagi mudah kagum terhadap sesuatu yang kau bangga-banggakan. Sama sekali aku tidak ingin menjadi seorang yang 'sukses' kalau mereka konsepkan sukses tersebut merupakan jalan satu-satunya untuk dapat membantu orang lain.

Hey, bukankah dengan konsep itu kamu hanya ingin ditinggikan dengan kesuksesan materimu?Yaudah, kalau begitu gerombolanku saja yang mengisi slot bawah. Bukan masalah juga dipermainkan atau dicurangi. Yang penting aku kerja.

Jangan-jangan dipermainkan atau dicurangi itu pun hanyalah sangkaanku. Bukankah aku juga milik Tuhan. Jadi kalau tidak ada keadlian terhadap apa yang terjadi padaku atas tindakan orang lain. Biarlah Sang Pemilik Aku yang membalasnya. Meskipun, jangan didepan manusia rendahan seperti kami yang masih penuh dengan rasa tidak tega.

Aku pikir mereka manusia-tuhan, namun ternyata belum bisa memberi dengan konsep "0". Mereka hanya berani berkerumun tanpa pernah merasakan "1" . Tapi kayak gitu juga bukan kesalahan. Mana ada 'salah' jika segala sesuatu itu terjadi membutuhkan ijinNya. Kecuali jika manusia ketuhanan itu mampu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun