Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Qudroh dan Iradah dalam Tajuk Syawalan

17 Juni 2019   15:54 Diperbarui: 17 Juni 2019   16:00 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semesta pun menggema seakan ikut menyambut kerinduan yang terpendam. Langit nampak cerah setelah matahari seakan malu untuk menampakkan ronanya beberapa hari kebelakang. Suasana Dusun Rambeanak ini biasanya sepi, meski tempatnya tak jauh dari pusat birokrasi Kabupaten Magelang. Sehingga acara pada malem hari ini tak ubahnya seperti hiburan bagi masyarakat sekitar.

Malam ini ada sedikit keterlibatan beberapa tokoh, diantaranya ada Kiai Labib, Gus Aushof dan temannya Mas A'ok yang kebetulan telah kembali dar masa pendidikannya di Timur Tengah. Kiai Labib sudah sangat dikenal oleh masyarakat Rambeanak karena biasa mengisi acara rutinan tiap hari Senin pagi.

Meskipun ide untuk menyelenggarakan acara syawalan hanya 2 hari sebelumnya, namun siapa yang sangka acara ini akhirnya dapat terselenggara berkat itikad baik saudara-saudara Maneges Qudroh. Dibersamai oleh masyarakat Rambeanak dan Jodhokemil, sepertinya perjalanan malam ini akan mampu menciptakan suasana kegembiraan.

Tentu saja semua ini tercipta tak lepas dari iradahNya. Segala pertemuan tak mungkin terwujud kecuali atas ijin dan kuasa Tuhan.

Kembali maneges atau menegaskan qudroh itu sendiri yang tak bisa dipisahkan dengan iradah Gusti Allah. Mencoba memanusiakan manusia yang terkemas dalam tema syawalan. Karena untuk menafsirkan syawalan itu sendiri kita mesti berpuasa atau menahan diri dalam kurun waktu tertentu untuk dapat bersama-sama memaknai kemenangan.

Tentu makna tentang kemenangan itu akan sangat bergantung pada sebatas apa kita semua mampu mengarungi level dimensi menahan diri itu sendiri. Mari sejenak berbagi nikmat yang tersaji dalam Bulan Syawal ini.

Kiai Labib sedikit memperdalam kuasa pertemuan ini tak lepas pula atas Qudroh Juz'iyah, yaitu sebagian kemampuan Allah yang diberikan kepada manusia. Sehingga, nampak keinginan-keinginan manusia pada akhirnya sanggup untuk mengsubordinasi titik temu dengan iradah Allah.

Tapi disamping itu, keinginan-keinginan manusia yang mampu bersubordinasi itu pun tidak boleh lepas dari landasan syariat yang telah ditetapkan. Karena atas dasar syariat tersebut, maka manusia tersadar untuk patuh atas perintah untuk melakukan beberapa hal yang berkaitan dengan sifat dhohir. Dari sifat dhohir atau jasad inilah akan nampak akhlak yang terwujud.

Gus Aushof sedikit memberikan pemahaman untuk lebih mempermudah memaknai Syawalan Halal Bi Halal yang sejatinya menurut Kiai Labib merupakan suatu bid'ah. Karena, halal bi halal sendiri memang diciptakan oleh ulama Indonesia pada zaman pemerintahan Soekarno untuk meredam perselisihan pada waktu itu. Menurut Gus Aushof sendiri untuk mencapai Bulan Syawal ini kita mengalami puasa satu bulan penuh pada bulan Ramadhan. Namun, apakah puasa itu sendiri hanya ada pada bulan Ramadhan? Terutama yang memiliki keutamaan yang tak kalah bersarnya.

Jadi, sudah semestinya kita lebih niteni. Apalagi sanggup membawa kebiasaan berpuasa atau menahan diri ke dalam bulan-bulan yang lain. Al-Quran sendiri diwahyukan kepada Rasulullah melalui malaikat Jibril bukan tanpa alasan. Setiap ayat yang diturunkan pasti ada asbabun nuzulnya disaat Kanjeng Nabi sendiri merupakan seorang yang buta huruf. Meskipun begitu, akhlak beliau sangat luar biasa. Sehingga keutamaan kita dalam beragama adalah mempelajari akhlak beliau, bukan untuk akhirat apalagi untuk unjuk kebenaran.

Beberapa puisi yang sangat pragmatis dibawakan oleh beberapa narator. Mengubah keriuhan menjadi keheningan atas suara lantang para pembawa puisi itu. Pemandangan raut muka para hadirin yang terguyur terangnya cahaya bulan dan bintang menambah syahdu pementasan hiburan puisi malam itu. Setelah lampu sorot dan lampu panggung padam, hingga benar-benar tersisa temaram dalam larutnya malam. Lantunan lagu Shohibu Baiti menjadi pemungkas acara syawalan ini. Doa pun tak lupa dilantunkan lalu dilanjutkan saling bersalaman antar semua pihak pada malam itu.

Andai saja, acara-acara silaturrahmi seperti ini lebih banyak terselenggara. Bukan tidak mungkin, perselisihan yang ditimbulkan akibat perbedaan pilihan atau pendapat akan sangat bisa diminimalisir. Cinta dan kegembiraan yang tercipta selalu terbalut tanpa memandang identitas tiap individu yang terlibat.

Rambeanak, 15 Juni 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun