Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menuju Peradaban "Insan Kamil"

19 Mei 2019   16:53 Diperbarui: 20 Mei 2019   16:38 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketua panitia pun dipersilahkan untuk membeberkan sambutan. Walau entah kenapa ketua panitia ini terlihat kurang pede dari segi formalitas susunan bahasanya. Atau mungkin karena mesti berbicara di depan Simbah yang kadang sedikit jahil dengan cara sikap kritisnya. Ketua tersebut menjelaskan tujuan sinau bareng tentang tema acara yang diharapkan berbuah menjadi sikap solutif untuk menghadapi problematika kehidupan bersosial berbagsa dan bernegara.

Lantas apa yang diharapkan? Sikap solutif seperti apa? Sinau bareng itu sendiri kan berarti kita bersama-sama sedang melakukan proses pembelajaran kolektif.

Simbah berujar bahwa suatu problem adalah sebuah rizki supaya lebih kreatif hidupmu. Seharusnya, acara sudah bisa dipungkasi dengan simbah menyatakan hal tersebut. Lagi-lagi ini bukan lari dari permasalahan, karena disini yang diharapkan adalah suatu pernyataan kebenaran sikap. Yang menuntut kemandirian berfikir dan berdaulat atas dirinya sendiri. "Kebenaran tersebut hanya sebuah bekal, tergantung ukuran kawicaksanan." terang Simbah.

Jadi apa artinya sebuah kebenaran jika kita tidak dapat bijaksana dalam menyikapi kebenaran tersebut? Tapi, beruntung di Jawa memiliki sebuah kuda-kuda nilai yang tidak terdapat di tempat lain, empan papan. Ketepatan tempat dan waktu, karena kawicaksanan akan sangat dibutuhkan disaat momentum yang pas.

Simbah lalu mencontohkan tentang frasa kata yang disebutkan oleh ketua panitia tadi tentang masyarakat madani. "Kata madani ki asal-usule piye? Ojo koyo lampu lalu lintas jogja." Simbah lagi-lagi mengajak jamaah untuk menemukan makna. Mulanya masyarakat madaniyana dilafalkan oleh Cak Nur. Disini madinah sudah tidak lagi bermakna sebagai salah satu kota di Arab yang dijadikan tempat tujuan hijrah Rasulullah. Sudah terjadi pergeseran makna menjadi sebuah peradaban.

Sebagai sebuah kota pun, Dajjal masih bisa keluar masuk ke dalam wilayah geografis kota Madinah. Namun Simbah memiliki pandangan, "Dajjal tidak akan berani ke rumahmu karena Mekkah ada dihatimu, madinah ada di pikiranmu. Mekkah-Madinah secara fisik memang ada di Arab, tetapi secara rohani harus kamu hadirkan di dalam dirimu." Para jamaah pun menyambutnya dengan tepuk tangan penuh kegembiraan. Mungkin dalam hati sembari menghela nafas bahwasanya ternyata tidak perlu mengeluarkan biaya banyak untuk dapat berlindung dari Dajjal.

Penemuan makna-makna kecil seperti ini harapannya bisa mengurangi kecemasan para jamaah ataupun bisa menemukan puzzle-puzzle kecil untuk selalu mencari kedaulatan diri sendiri. Dan hal tersebut menjadi kesempatan kita untuk lebih bersyukur, karna dari hal-hal kecil yang kadang disepelekan ternyata mempunyai impact yang sangat besar terhadap kebiasaan atau peradaban yang telah mengakar pada diri sendiri. Mencintai diri bukan berarti memanjakan, tetapi lebih ke mengasihani atau tidak tega melihat pemikiran yang berserakan.

Di saat kelompok-kelompok mulai dibentuk seperti biasa untuk merefleksikan sinau bareng, ada suatu sikap Simbah yang mungkin jarang diperlihatkan. Karena tidak cakcek atau sigap dalam membentuk kelompok, dengan nada yang agak keras, Simbah mengatakan, "Ojo pah-poh, yang umum angkat tangan, cepet!" karena memang pada saat itu kelompok-kelompok tersebut terdiri dari gabungan mahasiswa dan umum sangat lambat untuk melaksanakan sebuah perintah.

Simbah lalu merepresentasikan sikap itu sebagai suatu salah satu penyakit yang menjangkit bangsa ini. Kurang sigap dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Walaupun, pada akhirnya Simbah kembali mengangkat hati mereka dengan memuji sikap kesigapan yang ditunjukkan setelahnya.

dok. caknundotcom
dok. caknundotcom
Sembari menanti kelompok berdidkusi, salah satu narasumber menceritakan sejarah Untidar. Berawal dari gagasan untuk menyatukan akademi pembelajaran di kota Magelang yang memiliki tujuan agar lebih mempunyai kekuatan dan mengembangkan tunas-tunas indonesia Raya, maka dibentuklah Universitas Tidar yang awalnya masih swasta sebelum beberapa tahun lalu telah berubah menjadi Universitas Negeri. Tidar, sebuah bukit di pusat kota yang menjadi icon yang identik dengan Syekh Subakir dan Akademi Militernya. Begitu pula dengan sebuah kawah yang bernama Candradimuka yang konon katanya sebagai tempat untuk menempa calon-calon pemimpin yang sedang menempuh pendidikan di Akmil.

Simbah menceritakan sedikit tentang Syekh Subakir sebagai seorang utusan dari Turki. Yang disini memiliki peran yang sentral yang diibaratkan sebagai pusat/simpul sebuah jala pada masa itu. Dimana pada saat itu juga terdapat wali songo dengan perannya di wilayah masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun