Untidar Islamic Fair. Terima kasih buat para panitia atas usahanya yang tidak mudah untuk mendatangkan Kiai Kanjeng.
Hujan sempat membuat para jamaah cemas karena sampai isya' hujan tak kunjung reda. Walau curah hujannya sudah semakin menurun. Sampai pukul setengah delapan pun mungkin jamaah yang datang baru secuil daya tampung emperan satu-satunya Universitas Negeri di kota kecil ini. Acara ini pun menjadi salah satu dari beberapa rangkaian agendaLantunan surat An-nuur 35-38 menjadi pembuka kegiatan acara sinau bareng pada malam itu. pun seolah lantunan itu menjadi panggilan bagi para jamaah yang mulai berbondong-bondong datang memenuhi emperan. 'Cahaya di atas cahaya', seolah banyak lapisan cahaya yang menarik orang-orang itu datang, memberi petunjuk kepada yang Dia kehendaki untuk belajar bersama. Bukan sebuah pengajian atau dakwah satu arah tentang literasi mushaf atau fiqh.
"Ya Thayibbah" mulai dimainkan oleh Kiai Kanjeng. Menambah semangat pelaku maiyah untuk mendekati panggung. Dilanjutkan beberapa nomer lagu dimainkan sembari menunggu Simbah naik ke panggung. Acara yang bertemakan "Ngrumat Sejarah Tidar, Ngrakit Kawicaksanan, Mbangun Peradaban" ini sepertinya menarik. Diawali dengan memelihara sejarah, menyusun kebijaksanaan, lalu membangun peradaban. Tentu saja, tema tersebut masih dalam terminologi satu ruangan yang skalanya sangat mungkin untuk diperlebar.
Simbah mulai membuka acara malam itu, "Peradaban itu lebih besar daripada negara, lebih besar dari kebudayaan." Secara tidak langsung, sebelum membangun peradaban, kita harus belajar memelihara sejarah dan menyusun kebijaksanaan yang jangkep terlebih dahulu. Sebelum membangun sebuah peradaban yang lebih besar daripada sekedar kebudayaan yang memiliki identitas yang berbeda-beda di setiap wilayah.Â
Lantas kita menyusun kawicaksanan, yaitu tentang urusan manajemen di dalam diri manusia. Yang dalam konteks pembelajaran ini, kita berada di lingkup Tidar. Sebuah bukit yang telah diprasangkai sebagai gunung, pakune tanah Jawa. Karena tepat berada di tengah atau pusat Pulau Jawa.
Tentu warga yang ada di dareh ini pun memiliki mentalitas dan manajemen hidup yang berbeda. Dalam kosmologi ruang antara daerah tengah dan pinggiran, tentu apapun yang berada di tengah memiliki potensi menjadi perekat. Seperti itulah harapan simbah kepada mahasiswa Untidar Magelang yang memiliki jumlah 6000-7 mahasiswa(i) khususnya, dan masyarakat Magelang pada umumnya. Hal ini juga bisa masuk dalam makna sambutan yang disampaikan sebelumnya oleh Wakil Rektor I Untidar kepada Cak nun yang menurut beliau realistik, solutif, dan tidak ada narasumber yang semerdeka Cak Nun.
Simbah mulai bercerita tentang para Nabi terdahulu yang datang sebelum masa Rasulullah. "Apakah menurutmu semua Nabi sebelum Muhammad itu bukan muslim?" Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang kiranya akan memperluas cakrawala pemikiran para jamaah untuk lebih berhati-hati dalam bersikap atau mengutarakan pendapat, terutama terkait penyempitan makna agama belakangan ini.Â
Simbah semakin menegaskan,"in kuntum tuhibbunullah, fattabi'uni yuhbib kumullah...", semacam bocoran rumusan level kemesraan yang diungkapkan Kanjeng Nabi kepada para ummat agar selalu mengikutinya jika benar-benar ingin mencintai-Nya. Karena penyempitan makna agama ini entah mengapa selalu salah sangka, seakan cinta telah menghilang dalam pandangan meraka. Walaupun secara gamblang mereka selalu menyebut Ar-Rahman Ar-Rahim, tapi Allahu Akbar selalu mereka eksploitasi seperti luapan nafsu yang berlebihan. Wallahu'alam.
Dari sikap cinta itu sendiri bisa dicirikan jika orang cinta yang utama adalah rasa kangen, bersembunyi di relung waktu, menunggu saat dimana akan dipertemukan. Lalu ciri berikutnya jika orang mencinta adalah sebuah pembuktian, jika dirasa memang cinta, tentunya selalu ada tuntunan untuk berbuat baik untuk menunjukkan kesungguhan hatinya kepada yang dicinta.Â
Tapi naluri sifat manusia yang baper terkadang membuat lupa untuk menginjak rem. Manusia juga ndilalah lupa kalau apa yang mereka eksploitasi atau prasangkai sejatinya juga semesta atau ummat yang dicintai kekasih-Nya. Untuk menemukan kesejatian cinta itu pun dengan cara seperti itu terlihat wasis, karena rasa kangen itu masalah ditahan, bukan diumbar. Lagian sudah sesuatu yang pasti Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Yaa, rindu memang terlalu banyak memikul sendu. Ditambah lantunan Shalawat oleh Simbah dan Kiai Kanjeng yang meluluhlantahkan hasrat diri yang melebur ke dalam kerinduan. Shalawat seakan tidak hanya diungkapkan khusus oleh manusia. Awan pun seakan ikut bernanyi, memberikan kremun yang menambah syahdu suasana pilu. Karena shalawat itu sendiri ialah pernyataan 'pribadi' bahwa anda mencintai Allah dan Rasulullah. Setidaknya hal seperti inilah proses tauhid, rasa cinta untuk menyatu kepada Allah.