Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melawan Ketidaktahuan dengan Memaafkan

9 Mei 2019   16:25 Diperbarui: 9 Mei 2019   16:49 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini, bangsa ini mungkin sedang dilanda penyakit endemik bernama ketidaktahuan. Parahnya lagi beberapa individu yang terjangkit penyakit ini tidak menyadari bahwa mereka telah mengidap salah satu penyakit akut ini. Meskipun efeknya tidak separah mematikan, namun efeknya lebih ke hubungan sosial.

Lantas bagaimana untuk melawan orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu? Dari opsi yang muncul di kalangan para pencinta sendiri mungkin sangat beragam. Banyak solusi yang ditawarkan akan tetapi lebih mengarah ke suatu pembelaan. Sebuah pernyataan pembenaran jika apa yang dituduhkan ke seseorang yang sangat dicintainya adalah suatu kesalahan. Apa juga yang mesti dibenarkan dihadapan ketidaktahuan?

Naluri manusia memang begitu, hasrat untuk membantu orang-orang yang dikasihi bak bahan bakar kehidupannya. Bahkan, bukan sebuah kemungkinan bahwa para maling, koruptor, pencopet, PSK melakukan pekerjaan negatifnya demi memenuhi hasrat untuk memberi kepada orang yang dicintainya. Kita tidak bisa begitu saja mengarahkan tuduhan hina kepada para pelaku kejahatan.

Manusia-manusia ini semakin ngelantur dalam ketidaktahuannya. Mereka semakin mabuk ketidakmengertian terhadap sesuatu yang mereka hadapi. Entah karena sebuah taqlid kebenaran atau karena sebuah kepentingan semata yang menyebabkan mereka akhirnya terhijab akan kedaulatan cara berpikir mereka masing-masing. Hingga penyakit itu semakin lama semakin mengakar tidak hanya di otak dan hati mereka, bahkan sampai ke sel-sel penyusun dhohir maupun batinnya.

Setidaknya ada 3 garis besar yang dapat saya tarik dari kegelisahan saudara-saudaraku atas keadaan yang menimpa salah satu kekasihnya. Tapi sebelumnya, kita juga mesti memahami terlebih dahulu jika masalah ini dapat tersebar luas berkat jasa media sosial. Dimana dalam ranah ini kemungkinan sebuah topik untuk dimanipulasi ataupun ditunggangi demi sebuahkepentingan dan pada akhirnya disalahpahami sangatlah besar.

Langkah pertama, melawan yaitu dengan cara membuat suatu pernyataan balik di media sosial. Konyol memang, tak pernah saling tatap muka tapi saling serang kata-kata. Parahnya yang diperebutkan hanyalah kebenaran. Banci! Udah gitu aja. Pokoknya semua yang hanya bermain sindir-sindiran lewat media sosial agaknya menganggap dirinya terlalu exklusif dengan ilmu kebatinannya. Dengan harapan orang lain mampu memahaminya.

Kedua, naluri kejantanan terkadang muncul apabila kita dihadapkan dengan situasi dimana kekasih kita sedang disudutkan atau disenggol oleh orang lain. Tangan ini serasa ingin langsung menampol muka orang-orang yang melakukan hal yang tidak sewajarnya kepada seseorang yang kita kasihi. Lalu apa bedanya dengan orang-orang yang gampang menghalalkan darah orang yang dianggapnya kafir?

Khusus untuk langkah kedua ini, kita mesti memikirkan efek berantai yang mungkin bakal terjadi. Bukankah kita sering diajak untuk berfikir jernih? Berdaulat dalam berfikir? Lantas setelah berhasil ngampleng apa yang terjadi berikutnya? Kepuasankah karena telah memberi pelajaran dengan jalan kekerasan? Atau menimbulkan asumsi negatif "ternyata para muridnya juga sama saja".

Lalu ada langkah ketiga, yang mungkin tidak muncul di peemukaan karena mereka hanya tenang menghadapi permasalahan seperti ini. Melawan ketidaktahuan hanyalah membuang energi dan waktu yang sia-sia. Semoga memaafkan menjadi pilihan yang terbaik meski ketidaktahuan terus menyerang secara eksplosif. Pun akan percuma jika kita mbeber fakta-fakta yang sebenarnya terjadi.

Bukankah mereka hanya berprasangka atas kebenaran yang dianggapnya benar terhadap kekasih kita? Disaat mereka mungkin hanya mengalami kedekatan dengan kekasih tak selama kita membersamainya.

Diam bukan berarti tidak melawan. Senyum sinis tak lantas kita menerima asumsi kebenaran mereka. Senyum itu adalah wujud betapa nikmat mengalami prasangka-prasangka ketidaktahuan itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun