Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pengendalian Diri Melalui Jalan Kekosongan (Suwung)

7 Mei 2019   14:48 Diperbarui: 8 Mei 2019   16:33 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai moderator, Mas Eko langsung membuka fenomena-fenomena tentang srawung yang umum terjadi di lingkungan masyarakat. Srawung mengandung filosofi yang mendalam.

Srawung tidak hanya dimaknai sebuah perjumpaan. Dari srawung itulah ada sebentuk rasa yang muncul, yakni saling mengenal satu sama lain "lita'arofu", sehingga terjalin rasa paseduluran atau silaturrahmi. Dalam sebuah perjumpaan itu sendiri juga bisa sembari belajar bersama (sinau bareng), menimba ilmu (ngangsu kawruh).

 Untuk mencari srawung suwung, semua jamaah yang hadir diberi kesempatan untuk memegang microphone dan menceritakan tentang pengalaman srawung di lingkungannya masing-masing.

Meski tidak semuanya bercerita dan hanya memperkenalkan diri, namun dari banyak cerita yang telah tersaji dapat disimpulkan jika kebanyakan manusia melakukan srawung karena hakikatnya sebagai manusia sosial.

"Nek aku ra srawung, suk aku tuo ne pie?" Atau terdapat juga yang srawung karena takut esok tidak disrawungi jika suatu saat tiba giliran dirinya punya hajatan atau meninggal.

dokpri
dokpri
Ada satu sisi menarik dari salah satu jamaah yang menceritakan kisahnya, yang memutuskan untuk berkomitmen untuk bertapa dan tidak mencari pekerjaan disaat dirinya sudah dipasrahi tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Sehingga terlontar sebuah landasan berpikir baru, "srawung karena suwung atau suwung karena srawung?" Ungkapnya.

Di dalam srawung pergaulan di tengah masyarakat kita harus suwung (kosong) artinya melepaskan identitas-identitas diri kita, ego kita dan kekotoran hati kita yang berakibat merusak sesrawungan itu sendiri.

Dalam sesrawung kita harus mendahulukan diri kita untuk tampil 'nyrawungi' bukan 'disrawungi' atau dengan kata lain, kita harus siap melayani bukan meminta untuk dilayani.

Disaat manusia awam sering menyebut suwung sebagai sesuatu yang gila atau kenthir. Tapi dalam suwung yang menjadi pembahasan malam ini yang memiliki makna kekosongan, sebenarnya hanyalah makna imajiner kita yang telah mencapai taraf keseimbangan.

Dalam keseimbangan ini, suwung bisa menghasilkan sikap netral dan membiarkan segala hal yang terjadi di sekitarnya berjalan sesuai dengan kehendak alam. Kekosongan yang menghasilkan sikap pengendalian diri ini pada akhirnya akan bermuara pada penemuan hakikat akan diri kita masing-masing.

Srawung atau komunikasi manusia suwung yang telah menemukan pengenalan ini melakukan pertapaan tidak lagi menuju ke sebuah gua atau tempat-tempat sepi yang lain. Akan tetapi, ia akan melakukan pertapaannya di dalam hiruk-pikuk atau keramaian jagad raya semesta ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun