Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Untuk Menuju Kebaikan, Bergegaslah!

18 Maret 2019   11:40 Diperbarui: 18 Maret 2019   11:51 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum melanjutkan sinau bareng, satu nomor Syi'ir tanpo Wethon dialunkan oleh pakdhe-pakdhe Kiai Kanjeng agar lebih meyelaraskan frekuensi pikiran. Pak Toto atau yang biasa disapa dengan Kiai Tohar mulai mengutarakan pandangannya terhadap perlombaan atau kompetisi dari sudut pandang pendidikan. 

Beliau berpendapat jika kekeliruan pendidikan di Indonesia adalah terlalu sibuk memilah-milah orang pintar dan bodoh dengan ranking. Sejak di lingkungan pendidikan pada usia dini, secara sengaja maupun tidak, kita telah diajarkan untuk berkompetisi. Akibat dari sistem ini adalah lingkungan pendidikan kita jadi sangat krisis ruang ekspresi. 

Padahal, setiap individu pasti memiliki potensi atau bakat berbeda-beda. Karena tidak mungkin Tuhan menanamkan potensi yang sama pada setiap individu. Dampak dari sistem ini pun sangat terlihat dari begitu mudahnya antar manusia untuk memberikan penilaian terhadap orang lain.

Pak Toto menyatakan sangat diperlukan refleksi terhadap dunia pendidikan dengan tujuan kita kembali menata langkah, bagaimana tiap individu mampu mengolah potensi yang dimiliki dan bagaimana membangun sikap kebersamaan agar tidak mudah larut oleh isu-isu yang kurang bermanfaat. Ketika memasuki sesi tanya jawab, beberapa jamaah mengutarakan pendapat yang sangat bagus. 

Salah satunya Mas Luthfi dari Wonosobo yang magutarakan sudut pemikiran tentang fastabiqul khairat dengan ilmu  nahwu shorof-nya. Menurut penjelasannya, fastabiqul bergesar makna dari tafsir ala Kemenag yang berarti berlomba-lomba menjadi bergegas bersama-sama. Hingga akhirnya bisa meminimalisir efek saling menjatuhkan. Dan kata bergegas itu sendiri lebih memancing untuk lebih menghargai waktu/proses.

Lain halnya dengan apa yang diutarakan oleh Mas Shodiq. Fastabiqul khairat versi Mas Shodiq lebih ke makna pengaplikasiannya. Sebagaimana yang Mas Shodiq jelaskan apabila sebuah laku menuju kebaikan disandarkan pada kesadaran vertikal/tauhid, maka terjadi talik ulur ke atas dalam setiap usaha kebaikan. 

Kesadaran ilahiah akan menyeruak, tentang 'Aku' sebagai pelaku utama pun tidak terlatak pada ego diri sendiri, melainkan 'Kami'.  Lain halnya apabila fastabiqul khairat itu disandarkan pada materialisme. Tentu yang terjadi, segala tindakan atau usaha dalam kebaikan akan terasa melelahkan.

Masih banyak jamaah lain yang mengutarakan pendapatnya setelah itu. Pak Muzzamil melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang menarik. "Temen-temen sendiri bisa meilhat daritadi pada menyampaikan pendapatnya bagus-bagus. 

Ini membuktikan bahwa kami yang di panggung masih bodo." Statement dari Pak Muzzamil sangat menunjukkan bagaimana seorang Kyiai sekelas beliau pun masih memiliki rasa tawadhu' yang terus terjaga dihadapan para jamaah. Berbeda dengan definisi para ulama sekarang yang sudah sangat melenceng maknanya.

Mbah Nun, Mbah Mus, Pak Munir(Suluk Surakartan), dan Mas Sabrang menaiki panggung setelah itu. Mbah Nun langsung mengawali dengan menyampaikan sebuah pesan bahwa jangan sampai keluar kata dari kita yang tidak mendatangkan keberkahan Allah. 

Sebuah pertanyaan dari Pak Muzzamil mengenai tingkatan proses pembelajaran dalam NU nampak seperti suatu hal yang sepertinya perlu diluruskan terlebih dahulu, terutama di dalam maiyah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun